RA Kartini. Wikipedia/Kementerian Penerangan

profil

Perjuangan Kartini Mendobrak Feodalisme dan Akses Pendidikan Perempuan

Selasa, 20 April 2021 16:00 WIB
Reporter : Cantika.com Editor : Yunia Pratiwi

CANTIKA.COM, Jakarta - Setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Ini untuk mengingatkan perjuangan Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi wanita. Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879. Ibunya adalah Mas Ajeng Ngasirah dan ayahnya Bupati Jepara R.M.A.A. Sosroningrat. Dia sempat bersekolah di Europese Lagere School atau ELS, sekolah gubernemen kelas satu yang memakai bahasa pengantar bahasa Belanda.

Saat itu pada 1898 hanya ada 11 gadis Indonesia yang bersekolah di ELS di Pulau Jawa. Namun usai lulus dari ELS, ayahnya memerintahkan agar Kartini menjalani pingitan di rumah kabupaten yang luas dengan tembok yang tinggi. Semasa hidupnya ia tak pernah berhenti menulis dan membuat ratusan surat yang kebanyakan ditujukan kepada para sahabat penanya, yang sebagian besar orang Belanda.

Sahabat pena pertamanya adalah Stella M. Zeehandelaar, yang dikenal melalui majalah De Hollandse Lelie, majalah wanita yang waktu itu amat populer di Negeri Belanda. Stella adalah anggota militan pergerakan feminis di Negeri Belanda saat itu. Ia bersahabat dengan Ir H.H. van Kol, Wakil Ketua Partai Sosialis Belanda (SDAQ) di Tweede Kamer (Parlemen). Van Kol dan istrinya kemudian juga menjadi sahabat Kartini. Sahabat pena yang lain adalah Nyonya M.C.E. Ovink, istri asisten residen yang pernah bertugas di Jepara, serta Dr N. Adriani, ahli bahasa yang gemar surat-menyurat.

Kepada Stella Zeehandelaar, dia menulis banyak hal, tentang belenggu adat, pingit, azab sengsara pernikahan, silsilah, dan bahaya candu. "Panggil aku Kartini saja, itu namaku. Kami orang Jawa tidak punya nama keluarga. Kartini adalah sekaligus nama keluarga dan nama kecilku,” tulis Kartini di akhir suratnya bertanggal 25 Mei 1989 ketika memperkenalkan diri kepada Stella.

Akhir abad ke-19, saat feodalisme masih mencengkeram kuat, permintaan itu tergolong tak lazim. Dia adalah keluarga bangsawan, dan bergeral Raden Ajeng. Namun dia tak peduli, dengan meminta dipanggil Kartini saja, dia ingin menunjukkan bahwa semua orang sama, tidak dibedakan oleh pangkat, jabatan, atau gelar kebangsawanan.

Menurut sejarawan Yayasan Nabil, Jakarta, Didi Kwartanada, permintaan ini sesungguhnya merupakan pernyataan sikap, deklarasi pendiriannya, yang menolak hal-hal yang sudah usang dan membelenggu dalam masyarakat kala itu. "Kartini adalah prototipe manusia Indonesia baru," kata Didi Kwartanada, kepada Majalah TEMPO tahun 2013. Kartini secara gamblang menunjukkan penghargaannya kepada orang atau budaya lain, hal yang sebelumnya tak dilakukan orang. "Ia menganggap semuanya egaliter. Ini hal penting. Kartini harus didudukkan di situ.”

Sebab itu, tak aneh jika Kartini memberontak terhadap berbagai hal yang dia nilai tak memperlakukan manusia secara setara. Hal tersebut bisa ditemukan dalam kumpulan suratnya yang sudah diterbitkan, yakni Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang, dan buku berikutnya yang lebih lengkap, Kartini: Brieven aan Mevrouw R.M. Abendanon-Mandri en Haar Echtgenoot yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia menjadi Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya.

Perlawanan Kartini dimulai dari lingkungan keluarganya sendiri. Dia, bersama dengan dua adiknya, misalnya, berani melepaskan berbagai unggah-ungguh atau etiket yang dinilai ruwet. Dia mengizinkan adik-adiknya memanggil dengan kata "kamu", begitu pula sebaliknya. Hal ini terlarang. Namun dia tak butuh panggilan dengan kromo inggil atau bahasa halus, apalagi sembah setelah berbicara, dari adik-adiknya.

Kartini mengenal konsep adeldom verplicht, kebangsawanan menanggung kewajiban dari Stella. Dia percaya feodalisme yang absurd itu bisa dibendung dengan konsep yang meneguhkan prinsip bahwa makin tinggi kebangsawanan, tugas dan kewajibannya terhadap rakyat makin berat ini. Ada kata-kata lain untuk mengatakan hal yang sama: noblesse oblige atau keningratan membawa kewajiban. Kata-kata inilah yang dipilih Toeti Adhitama sebagai judul tulisannya dalam buku Satu Abad Kartini, kumpulan karangan mengenai Kartini yang terbit pada 1979.

Menurut Kartini, agar kaum bangsawan menyadari kewajibannya, pendidikan dan ilmu pengetahuan harus diperluas. Dia menegaskan hal ini dalam nota untuk Kementerian Jajahan Belanda pada 1903. Bila tidak mungkin sekaligus mendidik suatu bangsa yang terdiri atas 27 juta orang, untuk sementara kalangan teratas saja yang diberi pendidikan dan pengetahuan. Hal ini dinilai bermanfaat karena rakyat sangat setia kepada bangsawannya. Karena manfaat ini belum dirasakan saat itu, dia dengan tegas menyatakan pemerintah harus mendorong kaum ningrat ke arah sana.

Demi memajukan kaum perempuan, dia menenkan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dengan pendidikan, seorang perempuan tak perlu dipingit. Pendidikan, melalui sekolah dan cara-cara lain, akan melengkapinya dengan keahlian yang bisa menopang hidupnya sendiri, juga menentukan jalan hidupnya dalam urusan perkawinan.

Selain itu, dalam urusan pernikahan dia begitu geram terhadap aturan yang berlaku saat itu. Perempuan tak memiliki hak bicara dan bisa dikawinkan oleh orang tuanya begitu saja. Bahkan ada kemungkinan calon suami sudah memiliki istri. Dalam surat kepada Stella pada 23 Agustus 1900, dia membagikan temuannya: hampir semua perempuan yang dia tahu mengutuk hak-hak yang dimiliki laki-laki. Kartini paham harapan saja pasti sia-sia. Sesuatu harus dilakukan. "Mari, wahai perempuan, gadis-gadis muda, bangkitlah, mari bergandeng tangan dan bekerja bersama untuk mengubah keadaan yang tak tertahankan ini," ujarnya.

Memberontak terhadap feodalisme, menentang keras poligami, dan memperjuangkan akses pendidikan bagi perempuan adalah pokok-pokok perjuangan Kartini. Dia tahu ini upaya yang tak mudah dan butuh waktu yang panjang. Tapi dia percaya perjuangannya suatu saat akan membuahkan hasil.

Baca juga: Kartini Berjuang Lewat Surat Sahabat Pena