Kisah Satya Winnie Terbang dari Puncak Gunung Rinjani

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Atlet paralayang sekaligus content creator Satya Winnie Sidabutar/Instagram @satyawinnie

Atlet paralayang sekaligus content creator Satya Winnie Sidabutar/Instagram @satyawinnie

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Content Creator Satya Winnie terlihat bersemangat menjawab berbagai pertanyaan dari Cantika pada malam itu. Dengan ekspresi berseri, tanpa terlihat letih, Satya bercerita pengalamannya terbang dari Gunung Rinjani menggunakan parasut. "Dua hari lalu aku terbang dari Rinjani. Lalu langsung ke Palu," kata Satya yang juga atlet paralayang tanpa kenal lelah pada 21 Juni 2023 di Palu, Sulawesi Tengah. 

Gadis berambut panjang itu sangat semangat menceritakan salah satu pencapaian terbarunya itu. "Itu salah satu pengalaman tidak terlupakan bagi saya," kata Satya. 

Untuk terbang dari puncak Gunung Rinjani, Satya harus mendaki gunung setinggi 3.726 meter di atas permukaan laut ditemani porter. Maklum bawaannya banyak sekali. Selain harus menyiapkan peralatan untuk naik gunung, Satya juga perlu membawa parasut pribadinya. "Terbang dari Rinjani ini paling menegangkan," katanya. 

Tantangan selama perjalanan

Menurut Satya, Gunung Rinjani yang berada di Lombok ini tidak hanya tinggi, tapi juga ekstrem. Level sulit ini tidak hanya untuk terbangnya, namun juga untuk melakukan pendakiannya. Pasir yang harus dilewati menuju puncak membuat para pendaki harus susah payah mencapai puncak. Tidak hanya itu, peralatan yang sangat banyak pun cukup membuatnya sulit naik. 

Satya Winnie Sidabutar saat terbang dari Puncak Gunung Rinjani/Instagram- @satyawinnie

Untuk persiapan terbang, Satya mengatakan ruang untuk take off di Puncak Gunung Rinjani tergolong sempit. Padahal sebelum terbang, pelaku paralayang membutuhkan ruang yang cukup luas untuk ancar-ancar dengan berlari hingga membuat parasutnya terbentang dan siap untuk menahannya di udara. Gunung Rinjani yang cukup ekstrem pun perlu sangat diwaspadai pilot paralayang.

Pilot paralayang juga penting untuk cekatan membaca angin saat hendak terbang, khususnya di Gunung Rinjani. Kala itu, Satya tidak menggunakan parasutnya yang biasa. Untuk menyesuaikan kondisi, ia membawa parasut yang lebih ringan dan lebih responsif terhadap angin. Parasut itu, harapannya bisa lebih responsif ketika tertiup angin dan membantunya bertahan di atas. "Payung  (parasut) itu memang ada levelnya. Ketika harus terbang dari gunung dibutuhkan level khusus sendiri," lanjutnya. 

Satya bercerita, untuk mencapai puncak, ia membutuhkan waktu mendaki 1 hari penuh. Lalu dari camp Plawangan Sembalun, tepatnya pada pukul 1 dini hari ia dan tim siap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke puncak. Mereka berharap bisa tiba di puncak sebelum matahari terbit. "Memang disarankan untuk terbang sebelum angin tertiup sangat kencang. Artinya antara pukul 6-8 pagi," kata Satya. 

Setelah pukul 8, biasanya akan banyak tantangan yang akan dihadapi pilot paralayang. Misalnya ada thermix, alias angin termal, angin yang arah geraknya ke atas. Angin itu disebabkan oleh permukaan bumi yang panas karena mendapat sinar matahari. Ada pula rotor, kelompok butiran air, es, atau kedua-duanya yang tampak mengelompok di atmosfer. Lalu dikhawatirkan semakin siang akan ada turbulensi, alias keadaan di mana terjadi perubahan tekanan dan kecepatan aliran udara secara drastis. Saat naik pesawat terbang, turbulensi biasanya menimbulkan guncangan di pesawat. "Itu semua challenging untuk pilot paralayang," katanya. 

Makanya Satya pun berusaha untuk bisa lebih cepat terbang. Ia tiba pukul 5.30 di puncak. Saat itu hari cerah, namun angin yang ia perkirakan datang dari arah utara, ternyata berubah datang dari selatan dan sangat kencang. "Tidak memungkinkan untuk terbang," tulisnya di kolom Instagramnya.

Sambil menunggu, ia melihat langit semakin terang. Sayang, cuaca semakin jadi panas dan akan membuat penerbangan sulit karena turbulensi dan thermix. "Aku diam sejenak, berpikir dan membuat keputusan," tulisnya.

Ia memberi batasan pada diri sendiri bila hingga pukul 9, ia belum juga take off, ia akan membatalkan penerbangannya. "Aku juga tidak mau membahayakan diri sendiri, tidak mau mati sia-sia," katanya. 

Prinsipnya adalah masih ada hari esok untuk terbang. "Lebih baik tidak terbang hari itu, daripada tidak terbang selamanya," lanjutnya.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."