Ahli Gizi Ungkap Risiko Diet Tanpa Sayur ala Tya Ariestya, Bisa Gagal Ginjal

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi wanita diet. Freepik.com/Schantalao

Ilustrasi wanita diet. Freepik.com/Schantalao

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Belakagan ini buku tips diet ala Tya Ariestya menjadi perbincangan hangat di media sosial. Di dalam buku itu, Tya mengisahkan proses diet yang jalani sehingga bisa menurunkan berat badan hingga 23 kilogram dalam kurun waktu empat bulan.

Kunci diet Tya Ariestya adalah jalan kaki selama 45 menit setiap hari dan pantang mengonsumsi empat makanan tertentu, yaitu hidangan yang mengandung gula, tepung, minyak, dan santan. Ia juga mengatakan dirinya tidak memakan sayur selama diet karena dianggap menghambat penurunan berat badan

Menanggapi soal tidak makan sayur karena menghambat penurunan berat badan, Ketua Indonesia Sport Nutrisionis Association (ISNA) dokter Rita Ramayulis, DCN, M.Kes tidak membenarkan hal tersebut. Menurut dokter Rita, sayur kaya akan hal baik bagi kesehatan tubuh.

"Ini salah kalau dikatakan sayur menghambat penurunan berat badan. Secara kimia tubuh, justru sayur yang membantu jika terjadinya kerusakan metabolik ketika kita melakukan defisit energi," kata dokter Rita yang merupakan ahli gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia kepada ANTARA, Kamis, 4 Maret 2021.

Lebih lanjut, Rita menjelaskan bahwa tubuh akan memakai energi secara 24 jam tanpa bergerak, terlebih untuk menggerakkan organ-organ tubuh yang tidak diperintah; seperti jantung berdetak, kerja ginjal, hati, usus, dan lambung. Organ-organ ini membutuhkan energi untuk bekerja.

"Ketika kita mendefisitkan energi, kemudian mikronutrien (seperti vitamin dan mineral) dan seratnya tidak dicukupi, itu akan membuat sistem kerja metabolik energi itu berlangsung tidak sempurna, dan itu tubuh membutuhkan serat dari sayuran," jelasnya.

Selain itu, sayur memiliki serat yang fungsi utamanya adalah untuk menjaga keseimbangan mikrobiota dalam tubuh. Dokter Rita menjelaskan, mikrobiota di tubuh memakan serat. Mikrobiota ini memiliki peran penting terhadap imunitas tubuh.

Jika tidak ada serat yang masuk, maka mikrobiota akan mati, dan menyebabkan antibodi tidak terbentuk, sehingga imunitas melemah.

Selanjutnya, sayur dan serat juga berfungsi untuk mengontrol kolesterol dan menstabilkan kadar glukosa darah. Jika hanya memakan nasi dengan lauk tanpa serat, maka kadar glukosa akan naik dan merangsang insulin.

"Insulin, kalau diproduksi dalam jumlah yang tinggi, bisa terjadi proses inflamasi atau peradangan dalam waktu yang singkat. Dalam waktu panjang, itu berisiko hiperglikemi dan diabetes melitus," kata wanita yang juga merupakan Konsultan Gizi Royal Sport Performance Center Senayan City itu.

Serat dari sayuran juga menggerakkan peristaltik usus besar yang berfungsi memuluskan pekerjaannya untuk mengeluarkan zat toksik di dalam tubuh. Jika tidak didukung oleh serat, maka bisa timbul resiko kanker kolon.

Terakhir, sayur menghasilkan sisa basa yang sesuai dengan pH tubuh yang juga merupakan basa.

"Tubuh kita pH-nya basa. Jadi kalau kita mengonsumsi makanan lalu hasilnya asam, maka ginjal, hati dan paru-paru langsung bekerja untuk membasakan," ucapnya.

Jadi, jika orang tersebut hanya makan protein saja bisa alami gagal ginjal. Mengapa? Karena ginjalnya bekerja keras untuk membasakan.

Selain tidak memakan sayur, diet ala Tya Ariestya juga disorot karena asupan kalori hariannya kurang dari 500 kalori (Very Low Calorie Diet/VLCD). Menurut dokter Rita, hal ini membahayakan kesehatan dan memiliki dampak jangka pendek hingga panjang.

Dampak jangka pendeknya dengan defisit energi tersebut menyebabkan proporsi tubuhnya akan menjadi tidak bagus. Jadi, komposisi tubuhnya tidak hanya lemak saja yang hilang, tapi juga penurunan massa otot, tulang, dan total air dalam tubuh.

Sementara, untuk jangka menengah, nantinya akan menjadi tidak cukup untuk memberikan energi ke kerja basa dan imunitas, dan bisa jatuh ke malnutrisi. "Imunitas terganggu, dan kalau terekspos virus dan bakteri akan lebih mudah terpapar," jelasnya.

Lebih lanjut, untuk efek jangka panjangnya, akan terjadi resiko gagal ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan lambung, hingga irama denyut jantung.

"Penyakit-penyakit ini adalah penyakit yang irreversible -- tidak bisa diperbaiki. Perbaikan pola hidup, pemberian obat, mereka tidak mengembalikan (organ) ke fungsinya hingga 100 persen seperti semula. Jadi, jangan coba-coba lakukan diet ekstrem ini," pungkas Rita.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."