Diamanahkan Anak Down Syndrome, Emmy Haryanti: Obat dan Guru bagi Kami

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Emmy Haryanti saat sesi foto di kediamannya, Depok, Jawa Barat, Kamis, 9 Desember 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Emmy Haryanti saat sesi foto di kediamannya, Depok, Jawa Barat, Kamis, 9 Desember 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaEmmy Haryanti bersama suaminya, M. Heripurnomo, menyambut hangat tim Cantika di kediaman mereka kawasan Depok, Jawa Barat. Di teras rumahnya yang asri, mereka berbagi secuplik perjalanan sebagai orang tua yang dikarunai anak dengan down syndrome 31 tahun lalu. Anak sulungnya itu dinamai Muhammad Aldrie Hermianto atau akrab disapa mas Aldrie.

Aldrie lahir pada 11 Juni 1990. Emmy baru mengetahui Aldrie down syndrome setelah tiga bulan kelahirannya. Sebelumnya, di mata Emmy dan Heri, Aldrie tumbuh sehat, tapi memang tak menangis saat lahir seperti bayi pada umumnya. Di bulan September 1990, Aldrie sakit pilek. Emmy membawanya ke dokter tanpa praduga apa pun.

“Dokternya yang di Rumah Sakit Asih, perempuan, yang diagnosis mas Aldrie down syndrome,” tuturnya kepada Cantika pada Kamis, 9 Desember 2021.

Sebelum dinyatakan down syndrome, ada sejumlah tes darah yang dijalani Aldrie. Begitu mendengar hasilnya, Emmy mengaku sedih dan terkejut. Mendiang ibunda, Arsi Astuti, yang menemani saat itu langsung menenangkannya lewat pelukan.

“Pertama itu pasti sedih karena ketidaktahuan terhadap istilah yang dikatakan ini anak berkebutuhan khusus dengan down syndrome.  Dokter hanya menyatakan ini perlu perhatian khusus, mentally juga berbeda dari usianya anak. Misalnya usia mas Aldrie 10 tahun, mentally 5 tahun,” ungkapnya.

“Dari rumah sakit nangis, ini kenapa ya anak aku. Sakitnya, sakit apa. Perasaan hidung ada, kuping ada, semuanya ada. Pas dikasih tahu nanti juga anaknya tumbuh lambat, jadi nangis aja, namanya ibu muda,” sambungnya dengan mata berkaca-kaca.

Sama seperti Emmy, Heri juga terkejut saat mendengar putranya down syndrome. “Kaget. Lalu saya masuk ke kamar mandi, saya tutupi wajah saya dengan handuk, saya menangis. Proses itu 2 jam. Setelah itu, saya terima. Anak ini harus saya rawat. Saya mulai pelan-pelan mengajak Emmy. Saya tahu ini berat baginya karena dia yang mengandung dan melahirkan. Pelan-pelan saya bilang ini titipan Allah, kita harus jaga,” ujar pria yang berkarier di bidang teknologi informatika itu sambil menahan tangis.

Enam bulan kemudian, setelah dikuatkan suami dan terus berdialog dengan Allah, Emmy menerima bahwa Aldrie adalah titipan Allah. Tekadnya bulat untuk merawat dan membesarkan Aldrie dengan optimal. “Jika Allah percaya menitipkan Aldrie kepada saya dan suami, maka tugas kami menjaganya dengan baik,” katanya.

Selalu Terbuka Aldrie Down Syndrome

Sejak awal, Emmy dan suami sepakat terbuka tentang Aldrie down syndrome kepada siapa pun, baik keluarga, kolega, teman, maupun tetangga. Berkat keterbukaan itu, mereka dikelilingi support system yang kuat dan solid.

“Kami mengedepankan terbuka tentang mas Aldrie. Sikap terbuka kami muncul dengan sendirinya karena kami selalu mengingat mas Aldrie adalah amanah Allah. Jadi kami selalu open kepada siapa pun,” ungkap mantan Presiden Direktur Bank Mega Syariah ini.

Satu per satu saudara maupun teman, lanjut Emmy, mendukung dengan berbagai cara. Banyak dari mereka yang merekomendasikan atau memberikan buku atau jurnal seputar anak down syndrome. Bahkan salah satu teman mereka meminjam beberapa buku down syndrome dari perpustakaan di Amerika Serikat.

Tak sedikit pula dari mereka yang menyodorkan pilihan pengobatan alternatif untuk membantu perkembangan motorik dan sensorik Aldrie. Untuk menyeleksi pilihan tersebut, Emmy atau Heri akan terlebih dahulu mengecek ke tempat pengobatan memastikan keamanan dan kenyamanan untuk putra mereka.

Para tetangga di sekitar kediaman mereka pun terbuka dengan Aldrie saat bermain dengan anak-anak mereka, begitu pula sebaliknya.

“Kami selalu mengenalkan mas Aldrie down syndrome dengan tetangga, termasuk anak-anak mereka. Tentunya dengan bahasa yang mudah dimengerti anak-anak. Alhamdulillah, hingga saat ini, sambutannya baik, bahkan anak-anak tetangga bermain bersama,” tuturnya.

Baca juga: Ketahui Sebab dan Tipe Down Syndrome

Aldrie Hermianto. Foto: Dok. Pribadi

Terapi Medis dan Spiritual untuk Aldrie

Berbekal keyakinan bahwa Aldrie adalah amanah dan titipan Allah, Emmy berupaya mengoptimalkan tumbuh kembang Aldrie. Sebelum Aldrie sekolah, Emmy mengisahkan putranya menjalani sejumlah terapi seperti terapi wicara dan berjalan. Terapi tersebut dilakukan selama beberapa tahun di kediaman maupun rumah sakit, kenangnya.

“Anak-anak seperti mas Aldrie jelas banyak kekurangannya, cara bicaranya maupun motoriknya. Pada akhirnya, kita ambil satu orang khusus dari rumah sakit untuk handle mas Aldrie supaya jalannya anaknya seperti non difabel lainnya. Alhamdulillah, 16 bulan mas Aldrie sudah bisa jalan seperti anak non-difabel,” tukas Emmy.

“Terapi itu berlangsung beberapa tahun. Terapinya ada yang pakai infrared, ditepuk-tepuk punggungnya, dilatih kakinya seperti fisioterapi,” sambungnya.

Dari hasil terapi wicara, Aldrie bisa mengucapkan sejumlah kata secara lugas seperti halo, assalammualaikum, mama, papa, adik, hingga panggilan kesayangan untuk anggota keluarganya. Aldrie juga bisa mengungkapkan sejumlah keinginannya dengan jelas seperti ‘mama pulang’, ‘mama salat’, ‘mama makan’, ‘mama minta minum', ‘Aldrie muter dulu, ya’ hingga ‘selamat ulang tahun, mama’.

Selain fokus terapi secara medis, Emmy juga menempuh terapi spiritual untuk mengoptimalkan kemampuan Aldrie, khususnya indera penglihatan. Dari rekomendasi kerabat, mereka menemui ustaz di daerah Rawamangun, Jakarta Timur.

“Di sana, kami diberi air putih dan diminta untuk berzikir serta membaca surah-surah tertentu di dalam Alquran. Ikthiar ini semua ridho allah. Alhamdulillah, mata mas Aldrie jadi lebih fokus tidak seperti sebelumnya. Jadi, ia bisa lebih nyaman saat menonton tayangan musik di televisi. Itu salah satu kegiatan favoritnya,” tuturnya. Hingga saat ini, mereka mengaku tak lepas berzikir yang sama demi kesehatan Aldrie.

Emmy Haryanti bersama anak sulungnya, Aldrie Hermianto. Foto: Dok. Pribadi

Soal kisaran biaya terapi Aldrie, Emmy mengaku sebagian besar ditanggung oleh asuransi ia dan suami. Untuk tindakan medis dan terapi yang tak ditanggung asuransi, mereka membiayainya dari kocek sendiri. Untuk besaran nominalnya, Emmy menyebutnya relatif.

Alhamdulillah ada yang di-cover asuransi perusahaan kami. Terapi waktu itu belum tercover, masih bisa kami tanggung sendiri. Alhamdulillah, ada saja rezekinya. Nominalnya dibilang besar, ya, relatif. Demi anak, kita ikhtiar apa pun,” ungkap perempuan kelahiran 1 Juni 1962 ini.

Pendidikan Aldrie, dari Playgroup Kak Seto, SLB Budi Asih, dan Politeknik Negeri Jakarta

Tak berhenti di terapi medis dan spiritual, Emmy juga memfasilitasi pendidikan yang mendukung minat dan kemampuan sosialisasi Aldrie. Di masa kanak-kanak, Aldrie belajar di sekolah Kak Seto. Emmy sendiri yang mengirim surat ke Kak Seto untuk menggambarkan kondisi Aldrie dan diizinkan oleh kak Seto.

Emmy menganggap sekolah kak Seto benar-benar mengenali dan mengembangkan minat setiap anak. Ia ingin Aldrie merasakan pendidikan terbaik sedari awal.

Usai menamatkan TK A di sekolah Kak Seto, Aldrie lanjut ke Sekolah Luar Biasa atau SLB Asih Budi di Patra Kuningan. Ia kemudian belajar di SLB Negeri 01 di Lebak Bulus. Setelah tamat dari sana, Aldrie lanjut kuliah di Politeknik Negeri Jakarta Fakultas Manajemen Pemasaran untuk warga negara berkebutuhan khusus. Lagi-lagi bersumber dari informasi teman, Emmy mengetahui ada fakultas baru untuk anak berkebutuhan khusus di Politeknik Negeri Jakarta.

“Dengar dari kawan ada sekolah baru dapat izin dari pemerintah untuk anak berkebutuhan khusus di Politeknik Negeri Jakarta Universitas Indonesia. Diinfokan nanti ada wawancara anak maupun orang tua, lalu ada tes IQ. Kami jalani semua tahapannya,” ucap lulusan Universitas Trisakti ini.

“Dan alhamdulillah mas Aldrie diterima. Dari hasil wawancarara itu, dosen yakin bisa mengeksplor mas Aldrie, makanya lulus. Mas Aldrie dan teman-temannya merupakan angkatan pertama. Mas Aldrie satu-satunya down syndrome, mahasiswa lainnya autis,” sambungnya.

(kedua dari kiri) Aldrie Hermianto saat mengikuti ospek di Politeknik Negeri Jakarta, Fakultas Manajemen Pemasaran untuk warga negara berkebutuhan khusus. Foto: Dok. Pribadi

Di kampus, lanjut Emmy, Aldrie sangat senang. Selain bisa berjumpa kembali dengan beberapa temannya di SLB, Aldrie juga senang belajar dan bersosialisasi.

Sama seperti mahasiswa baru di kampus pada umumnya, Aldrie pun mengikuti serangkaian acara pengenalan kampus. Emmy dan Heri bergantian mendampingi Aldrie di masa itu. Bahkan Heri sempat mengambil cuti besar selama tiga bulan untuk menemani putranya di awal-awal masa kuliah. Selain mereka berdua, mbak Darmi, asisten pribadi Emmy, juga menjadi pendamping Aldrie selama kuliah D-3 seperti di masa sekolah dulu.

Menurut Emmy, kegiatan kuliah Aldrie berkisar aneka praktik yang mengasah minat contohnya kelas keramik dan menjahit. Di semester terakhir, Aldrie presentasi karya tulis seperti mahasiswa non-difabel sidang. Dibantu oleh Heri, Aldrie membuat power point presentasi yang berjudul “ Wirausaha Membuat Tas dari Bahan Blacu Beraksesoris”. Tanpa berlatih sebelumnya, Aldrie tampil percaya diri mempresentasikan karyanya di depan tiga penguji di dalam ruang sidang.

Aldrie Hermianto tengah presentasi tugas akhir dengan judul "Wirausaha Membuat Tas dari Bahan Blacu Beraksesoris" di Politeknik Negeri Jakarta, Fakultas Manajemen Pemasaran untuk warga negara berkebutuhan khusus. Foto: Dok. Pribadi

Seperti ibu pada umumnya, perasaan Emmy campur aduk saat menunggu di luar ruang sidang. Ada rasa khawatir karena sehari sebelum sidang Aldrie enggan latihan presentasi di rumah. Ada rasa bangga dan haru karena Aldrie bisa merasakan kuliah versi anak disabilitas. Ada juga rasa penasaran ingin melihat bagaimana Aldrie mempresentasikan karyanya.

“Orang tua kan masuk bergilir menunggu, kami sampai naik-naik seperti ini (berdiri di atas kursi) pengen liat karena (pintu) ditutup. Beneran gak sih mas Aldrie sidang,” ujar Emmy dengan mata berkaca-kaca.

“Saya nangis saking saya bangganya lihat mas Aldrie sidang. Ngeliat. Ya Allah, mas Aldrie bisa lulus. Kami tidak peduli dengan nilai mas Aldrie. Kami melihat mas Aldrie dengan sudut pandang kemampuan mas Aldrie. Jadi, kami memahami apa adanya,” ucapnya.

Kebahagiaan itu kian spesial di momen wisuda Aldrie pada 10 September 2016. Bagi Emmy, itu salah satu momen indah yang tak terlupakan. Mereka berempat foto keluarga dengan Aldrie memakai toga.

Aldrie adalah Obat dan Guru

Menjadi ibu yang bekerja di luar rumah, Emmy bersyukur dikelilingi support system yang solid dan kuat. Emmy mengisahkan semasa orang tua dan mertua masih hidup, Hardjantho Soemodisastro – Arsi Astuti serta Moedijono Bagianto – Siti Herira, bergantian menjaga Aldrie dengan pengasuh. Namun setibanya di rumah, ia dan suami berkomitmen untuk mengurusi anak-anak sepenuhnya tanpa bantuan pengasuh atau keluarga.

“Jadi, saat kami tiba di rumah, kami yang mengurusi anak-anak,” tuturnya.

Emmy mengatakan lelah bekerja langsung sirna saat ia dan suami bekerja sama mengurus anak-anak. Baginya, kebersamaan dengan keluarga adalah me time. Ia mengaku selalu jadi bahagia saat melihat Aldrie tersenyum atau menyapanya, bahkan sakit kepalanya bisa langsung teratasi.

“Ini nyata, saya sakit kepala di kantor, biasanya minum obat, tapi gak minum saat itu. Pas sampai rumah, pusing saya hilang karena lihat mas Aldire. Pas pulang, disambut mas Aldrie, ‘hai mama’.  Di rumah itu, rileks lihat anak-anak sehat. Bersama mereka di rumah adalah obat,” imbuhnya.

Baca juga: Kisah Ibu dengan Anak Autistik, Ivy Sudjana: Aku Tak Bisa jadi Cahaya Tanpa Arsa

“Kami tak pernah punya rasa kesal pada anak-anak, malah mereka jadi obat kita. Sejak kita menerima, tak pernah merasa dia beban, tapi malah obat,” lanjutnya.

Kini, menikmati masa pensiunnya sejak 2020 dan fokus mengurusi bisnis kulinernya, Emmy mengaku Aldrie semakin lengket dengannya. Setiap pagi, Aldrie hanya mau dimandikan olehnya. Emmy juga kerap menemani Aldrie makan ayam goreng kesukaannya atau mendampinginya menonton video musik India di Youtube.

“Aldrie itu suka lihat video joget-joget India seperti Shah Rukh Khan dan Hrithik Roshan. Pokoknya yang musik dan tari,” ungkapnya.

Foto wisuda Aldrie Hermianto pada 2016. Aldrie merupakan lulusan dari Politeknik Negeri Jakarta, Fakultas Manajemen Pemasaran untuk warga negara berkebutuhan khusus. Foto: Dok. pribadi

Bukan berarti mulus saja perjalanan Emmy mengurus Aldrie dari waktu ke waktu. Sama seperti anak pada umumnya, ada momen-momen di mana Aldrie merengek meminta sesuatu, bahkan mendesak harus ada saat itu juga. Di momen itu, Emmy menganggap Aldrie adalah guru untuk menahan sabar.

Setiap kali Aldrie bertanya, Emmy akan menjelaskan secara detail berulang kali. 

“Ada saatnya mas Aldrie minta dibelikan baju koko pukul 2 pagi lewat e-commerce. Dia maunya tiba secepatnya. Jika belum ada seperti harapannya, dia akan ribut bertanya lagi. Solusinya apa? Kita kasih pengertian ke mas Aldrie, ‘ini lagi dipotong bajunya’. Kita menjelaskan tahapan-tahapan pembuatan baju. ‘Lagi dijahit, mas’. Kemudian dia akan menanyakan hal yang sama, ‘mama bajunya mana’, kita ulang lagi jawabannya. Repeat kuncinya,” imbuh Emmy.

Di lain waktu, Aldrie juga pernah minta dibelikan ayam goreng saat dini hari. Emmy dan Heri meresponsnya dengan cara yang sama.

Mendidik Aldrie dan Maudina: Cara Sama, Kadar Beda

Emmy dan Heri tak hanya dikaruniai Aldrie.  Mereka juga dianugerahi Maudina Dwi Heriasti pada 1994. Sejak Maudina lahir, Aldrie sangat menyayangi adiknya, begitu pula sebaliknya, kisah Emmy.

“Mereka main bareng, digandeng, diboncengin naik sepeda, disuapin makanan. Hari pertama Maudi lahir, Aldrie langsung mengetahui itu adiknya. Aldrie gak ada cemburu karena kami sudah kenalkan Maudi sebagai adik sejak dalam kandungan. ‘Ini, adek, mas’ pas dia pegang perut saya,” ujar Emmy.

Kakak beradik itu juga tidur sekamar hingga usia sekolah dasar, ungkap Emmy. Bagaimana cara Emmy menjelaskan kepada Maudina bahwa kakaknya down syndrome? Di momen ini, Emmy dibantu suami tercinta. Heri mengisahkan ia menjelaskan kondisi Aldrie kepada Maudina saat ia berusia tujuh tahun atau kelas 2 sekolah dasar (SD).

“Saya panggil Maudi saya kisahkan bagaimana kami berdoa kepada Allah meminta anak lagi untuk teman mas Aldrie, lalu kondisi Aldrie down syndrome. Diterangkan semuanya pelan-pelan dengan bahasa anak-anak.  Dia hanya mendengarkan hingga saya selesai bicara. Gak ada ekspresi apa-apa, tapi saya lihat ada titik air mata kecil di sudut matanya. Setelah itu, dia masuk ke kamar,” kenang Heri.

Potret masa kecil Aldrie Hermianto bersama adiknya, Maudina Dwi Heriasti. Foto: Dok. Pribadi

Setelah pembicaraan empat mata itu, Emmy dan Heri mengamati apakah ada perubahan dari Maudina. Ternyata tidak. Ia tetap bermain seperti biasanya dengan Aldrie. Bahkan setiap kali teman-temannya datang ke rumah, hal pertama yang dilakukan Maudina adalah mengenalkan Aldrie.

“Karena dari awal kami terbuka tentang Aldrie, Maudi juga melakukan hal yang sama. Ia selalu mengenalkan Aldrie kakaknya kepada teman-temannya. Alhamdulillah, kami sangat bersyukur dengan anak-anak yang diamanahkan ke kami,” imbuh Emmy.

Dalam mendidik kedua buah hatinya, Emmy mengatakan tidak mengistimewakan Aldrie. Ia ingin Aldrie tumbuh mandiri dan percaya diri semampunya. Hal-hal yang bisa dikerjakan Aldrie sendiri seperti mengambil minuman atau makanan, Emmy memberikan bantuan seminim mungkin.

Sama seperti Maudina, Aldrie juga diajarkan bagaimana caranya meminta tolong, berterima kasih, dan meminta maaf. Jika Aldrie berbuat salah, juga akan ditegur seperti yang diterapkan pada Maudina.

“Mengenal karakter anak itu penting. Merasakan dan memahami cara berpikir mereka salah satu cara kami bonding. Jadi, cara kami mendidik Maudi dan Aldrie sebenarnya sama, kadarnya saja yang beda. Misalkan Maudi berbuat kesalahan, kita cukup mengingatkan sekali, Maudi memahami. Untuk mas Aldrie, kita bisa ingatkan sampai 10-20 kali. Repetisi tadi kuncinya,” tuturnya.

Aldrie dan Aneka Kesenangannya

Emmy mengisahkan Aldrie punya kegiatan favorit yang berubah dari waktu ke waktu. Saat kecil, ia senang memakai baju koko beserta peci. Di lain waktu, ia gemar membeli baju koko, tapi tidak dipakainya. Baju-baju tersebut untuk dibagi-bagikan ke saudara atau temannya. Kini, ia sedang hobi mengumpulkan amplop putih di minimarket.

Aldrie juga senang jalan-jalan. Emmy mengatakan tidak ada hambatan saat membawa Aldrie bepergian. Terlebih Aldrie senang berada di pesawat. Tapi ada satu persiapan yang tak boleh dilupakan Emmy, yaitu merinci rencana bepergian kepada Aldrie jauh-jauh hari.

“Kita sama mas Aldrie harus menginfokan apa pun yang harus kita lakukan, tidak bisa mendadak. ‘Jadi, mas kita mau pergi ke sini atau melakukan kegiatan ini selama berapa hari. Di sana seperti ini, nanti mas begini’. Tidak bisa langsung pergi, minimal seminggu sebelum pergi digambarkan ke mas Aldrie,” katanya.

Aldrie pun suka pergi umrah. Menurut Emmy, mereka sudah empat kali mengajak Aldrie umrah. Dengan semampunya, lanjut Emmy, Aldrie mengikuti rangkaian ibadah umrah. Dan, tentunya selalu berada dalam pengawasan ayahnya. Aldrie juga kerap salat dan mengaji.

“Mas Aldrie itu religius. Kadang satu hari baca Alquran dengan caranya, Al Fatihah campur Al Ikhlas. Bahkan kadang mengingatkan kami salat. Dia salat dan mengaji sebisanya. Jika lagi gak mood, kami tak memaksanya,” ujarnya.

(paling kiri)Emmy Haryanti umrah bersama keluarga tercinta pada 2009. Foto: Dok. Pribadi

Di antara kesenangan Aldrie yang datang dan pergi, ada satu hobinya yang bertahan hingga saat ini, yaitu menari. Untuk mengembangkan minat tarinya, Emmy memfasilitasi Aldrie dengan latihan tari di kelas khusus anak down syndrome. Ia mulai latihan menari di Gigi Art of Dance usai lulus kuliah.

“Balik lagi kami dapat info dari kenalan, kali ini dari teman Maudi pas ajang None Jakarta 2017, Karina Syahna yang jadi guru tari hiphop. ‘Aku punya kelas tari untuk anak down syndrome’, dia bilang ke Maudi seperti itu. Dari situ kami mendaftar. Mas Aldrie coba dulu, trial. Ternyata dia happy banget, jadi lanjut,” kata Emmy.

“Dia latihan tari tiap Selasa. Jadi, selalu menanti hari Selasa. ‘Besok selasa, ya’. Saking dia excited-nya terus bertanya,” sambung Emmy.

Di sanggar tari itu, tak hanya latihan, mereka juga memfasilitasi anak-anak down syndrome tampil di luar sanggar seperti pertunjukan seni, ajang olahraga anak disabilitas ataupun resepsi pernikahan. Menariknya di beberapa penampilan tari, Aldrie mendapatkan honor seperti pengisi acara lainnya. Momen ini mengharukan bagi Emmy karena ia kembali belajar bahwa anak down syndrome bisa produktif jika minatnya dikembangkan.

“Aku benar-benar takjub sama Aldrie. Yang dulu kita berpikir kayak gimana masa depan anak down syndrome, ternyata sangat produktif,” ucapnya.

Di masa pandemi ini, Aldrie tak mengikuti latihan tari yang diadakan secara virtual. Menurut pengamatan Emmy, Aldrie lebih nyaman menari dengan teman-temannya secara tatap muka daripada via daring.

(paling kiri) Aldrie Hermianto bersama teman-temannya di grup tari hiphop G Star dari Gigi Art of Dance. Foto: Dok. Pribadi

“Kami tak memaksakan jika mas Aldrie tak mau. Jadi, sekarang nari-narinya di rumah. Ia mengikuti dari video tari di Youtube,” tukasnya.

Emmy mengaku hingga hari ini masih terus belajar tentang Aldrie. Ia dan suami tak pernah berhenti beradaptasi dengan hal-hal baru yang dilakukan Aldrie. Saling menguatkan dan menyemangati jadi kunci mereka mengasuh Aldrie yang kini menginjak usia 30-an.

“Karena selalu mengingat Aldrie adalah amanah dari Allah, kami selalu saling menguatkan dan menyemangati. Apa pun yang terjadi saya selalu bicarakan dengan bapak,” tandasnya.

Selamat Hari Ibu, Emmy Haryanti dan teman-teman Cantika...

Baca juga: 5 Support System yang Dibutuhkan Ibu dengan Anak Berkebutuhan Khusus

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."