Yang Dibutuhkan Ibu saat Pertama Kali Dikaruniai Anak Berkebutuhan Khusus

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi difabel. Shutterstock

Ilustrasi difabel. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Saat pertama kali mengetahui dikaruniai anak berkebutuhan khusus, orang tua termasuk ibu merasakan beragam emosi. Mulai dari syok, sedih, kecewa, marah, takut, bersalah atau diam seribu bahasa. Di awal-awal ini, ibu membutuhkan dukungan untuk bisa menerima segala hal yang dirasakannya.

“Beri dukungan agar ibu menenangkan diri, biarkan ibu menerima semua perasaan itu dulu. ‘Aku sedih, aku kecewa dengan kenyataan ini’. Perasaan itu tidak perlu ditolak,” ungkap psikolog Anisa Cahya Ningrum kepada Cantika via telepon, Sabtu, 18 Desember 2021.

Orang-orang di sekitarnya seperti pasangan atau keluarga besar juga berperan menjadi sumber penguat secara emosional, lanjut Anisa. Dukunglah melalui pelukan, mendengarkan ceritanya, atau makan bersama.

Hindari pertanyaan menyelidik seperti ‘apa saja yang kamu dilakukan saat hamil?’, ‘Bagaimana skrining saat kontrol ke dokter’, ‘’Indikasi apa yang terlihat saat hamil?’. Di momen awal ini ini, ibu masih berduka dan rapuh. Ia membutuhkan waktu untuk menelaah yang sedang terjadi.

“Berikan ibu waktu menjalani proses berduka yang tidak nyaman, diikuti saja prosesnya. ‘Aku sedang merasa enggak nyaman, aku lagi sedih’ Dijalani saja proses itu gak perlu ditolak. Jangan pula ibu merasa bersalah dengan perasaan-perasaan yang muncul karena itu hal normal,” tegas Anisa.

Ketika ibu sudah memasuki tahap penguasaan diri, dia akan mencoba mencari pemaknaan atau believe system atas anugerah yang dititipkan kepadanya. Di masa ini, bisa jadi mereka banyak merenung dan semakin dekat dengan Tuhan.

“Memberi pemaknaan dari kenyataan yang dihadapi. Apa hikmahnya dari kenyataan ini. Contohnya, ‘Dengan adanya kejadian ini, ini menjadi ladang amal bagi saya. Ini adalah amanah bagi saya, ini adalah titipan Tuhan’. Di momen ini, ibu tak hanya butuh dukungan dari keluarga, teman, tetapi juga rohaniawan yang bisa memberi pandangan dari sisi agama,” ujarnya.

Menuju fase penerimaan atau acceptance, ibu perlu diyakinkan bahwa ia berperan dalam keluarga termasuk mengasuh anak. Diyakinkan bahwa tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus tak hanya melalui terapi, tapi juga kasih sayang ibunya. Usapan, pelukan, dan suara lembutnya berperan besar untuk buah hati mereka.

“Ketika si ibu menyadari kapasitasnya dalam keluarga. ‘Oh masih bisa, ada yang bantuin kok'. ‘It’s oke anak ini masih bisa diterapi’. Ketika ibu menemukan hal-hal itulah diharapkan bisa mendapatkan pemaknaan. Ketika ibu sudah punya keyakinan itu, maka acceptance itu bisa dicapai,” jelas pendiri Cahya Communication ini.

Selama proses menuju acceptance, Anisa mengatakan tidak perlu membanding-bandingkan lamanya waktu menerima dengan ibu ABK lainnya. Cepat atau lambatnya penerimaan itu, setiap orang memiliki fase sendiri. Yang terpenting tidak menolak perasaan di awal, mendapatkan dukungan emosi dari sekitar, dan menemukan pemaknaan. Menurut Anisa, pemaknaan ini bisa menjadi kekuatan saat ibu menghadapi tantangan mengasuh anak berkebutuhan khusus.

“Anak terus bertumbuh, tidak permanen. Anak berkebutuhan khusus bisa mendapat diagnosis baru, yang tadinya cuma satu diagnosisnya, tiga bulan kemudian bisa bertambah. Kumpulan-kumpulan diagnosis baru itu bisa membuat ibu denial kembali dan berputar siklusnya. Di situlah, kekuatan pemaknaan untuk menyemangati ibu, selain support system tentunya,” tandas Anisa.

Baca juga: Curhat Kartika Nugmalia Mengasuh Tiga Anak Berkebutuhan Khusus

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."