Kisah Ibu dengan Anak Autistik, Ivy Sudjana: Aku Tak Bisa jadi Cahaya Tanpa Arsa

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ivy Sudjana. Dok. Pribadi

Ivy Sudjana. Dok. Pribadi

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Memang tidak mudah jika mendapati kenyataan bahwa anak kita berbeda dari anak lain. Hal ini juga dirasakan oleh Ivy Sudjana, ibu dari seorang anak istimewa. Anak pertamanya bernama Arsa Bintang Candra, lahir pada tahun 2003, yang kemudian mendapat diagnosis Autism Spectrum Disorder (ASD) atau autistik sejak usia 2 tahun 8 bulan.

Merujuk berbagai informasi, sindrom spektrum autisme adalah gangguan yang terjadi pada otak sehingga ini membuatnya tidak seperti anak-anak lainnya. Hingga kini, penyebab autisme belum dapat diketahui secara pasti. Namun secara umum, gejala autisme biasanya mulai terlihat sejak bayi. Bayi usia 0-1 tahun sudah bisa dikenali tandanya. 

“Dua tahun setelah menikah, saya baru hamil anak pertama (Arsa) itu juga karena program hamil. Jadi sebenarnya pas Arsa lahir tidak ada gambaran bahwa dia autistik atau tidak,” kata Ivy Sudjana kepada Cantika.com, Sabtu, 11 Desember 2021.

Ivy juga menambahkan bahwa ia tidak merasakan efek lain selama kehamilan Arsa, seperti ibu hamil pada umumya saja. Namun, pada kehamilan trimester pertama, ia mengalami momen ngidam yang lumayan parah sampai tidak bisa makan. Sehingga, ia tidak menjaga asupan makanannya pada saat itu.

Arsa Bintang Candra. Dok. Pribadi

Setelah Arsa lahir, ia merasa ada beberapa pihak yang menyalahkannya karena tidak menjaga pola makan. Arsa sendiri lahir melalui proses operasi caesar, karena Ivy mengalami hal yang cukup langka, yaitu ia tidak mengalami pembukaan sama sekali. Arsa lahir ke dunia dalam keadaan putih bersih, bukan merah seperti bayi pada umumnya.

“Arsa dulu bayi yang sedikit rewel. Ada fase di mana 1-2 hari saya bisa nangis karena tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya udah melakukan segala cara kok Arsa masih nangis terus,” ujar ibu dua putra ini.

Sebenarnya tanpa kisa sadari, itu bisa menjadi ciri pertama dan kita harus lebih menyadari, bahwa itu merupakan tanda tubuhnya kurang baik. Selain itu, gejalanya bisa ditandai dengan masalah pada pencernaan.

“Anak autistik biasanya mengalami masalah pencernaan. Ketika kecil, Arsa diopname dua kali waktu usia balita, hampir maaf (meninggal) karena dehidrasi. Itu karena diare dan muntah berlebihan. Jadi, gangguan pencernaan saja bisa berakibat fatal.”

Ciri lainnya ditandai dengan kesulitan berbicara. Biasanya, terlambat bicara pada anak bersifat sementara. Namun, pada beberapa kasus khususnya pada anak autistik, ini menjadi tanda adanya gangguan pada perkembangan anak.

“Pas masih kecil dia memang bubbling, keluar kata-kata ini dan itu, tetapi lama kelamaan itu hilang. Jadi dia menggunakan fisiknya untuk menunjukan kalau ingin sesuatu, misalnya pas makan atau minum.”

Sampai menginjak usia 1 tahun, Arsa belum berbicara. Secara fisik motoriknya, Arsa adalah bayi yang sehat, jadi masalah ini tidak dianggap serius. Padahal, lambat berbicara ini menjadi pr besar. Setelah usia Arsa 2 tahun setengah, Ivy menjadi lebih memperhatikan terhadap perkembangan Arsa bahwa ada yang tidak beres.

Hal tersebut membuat Ivy untuk memeriksakan Arsa ke dokter psikiater dan psikolog. Karena pada saat itu pengetahuan tentang autistk belum populer seperti saat ini, orang tua duduk berjejer tidak secara privat, ditanyai beberapa pertanyaan yang terkait masalah dengan sensor berbicara.

Arsa Bintang Candra. Dok. Pribadi

“Di Denpasar ke psikiater, klinik tumbuh kembang anak, tapi saya tidak berhenti sampai situ saja. Saya ke Jakarta dan mendatangi dua psikolog. Pernah juga ke Bandung, Suryakanti. Jadi saya ke beberapa psikolog untuk meyakinkan jika anak saya memang autistik,” ungkap perempuan kelahiran Jakarta ini.

Ivy juga mengungkapkan, ada dokter yang mengatakan kalau Arsa itu kadar spektrumnya putih ke abu-abu-an. Jadi samar banget, kalau misalnya melihat Arsa lagi biasa saja, tidak akan kelihatan kalau dia autisme.

Setelah Arsa didiagnosis ASD, Arsa melakukan terapi homeopati. Prinsip pengobatan alternatif yang disebut dengan homeopati ini sebenarnya bukan untuk mengatasi penyakitnya, melainkan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Arsa sudah melakukan terapi homeopati sejak 10 tahun yang lalu. Jika ditanya apakah Arsa cocok dengan treatment tersebut, Ivy tidak bisa menjawab. Karena tumbuh kembang setiap anak itu berbeda.

“Tapi kalau menurut saya pribadi, terapi ini untuk menjaga kesehatan si anak. Karena waktu Arsa kecil mudah sekali sakit-sakitan. Setelah menjalani terapi ini, Arsa menjadi kuat. Mungkin ini juga bisa menjadi ciri kalau anak memiliki berkebutuhan khusus,” lanjut alumnus Universitas Negeri Jakarta program studi Bimbingan Konseling ini.

Sempat Marah pada Diri Sendiri

Meskipun banyak orang yang mengatakan bahwa ia sosok ibu yang kuat, ibu yang hebat, tetapi Ivy mengakui bahwa menerima anak dengan autistik membutuhkan proses yang lama. Ia sempat marah kepada lingkungan bahkan kepada dirinya sendiri.

Pada 2019, ia mengalami panick attack, karena ia berpikir sudah sejauh ini dengan Arsa, tiba-tiba dia bisa tantrum di tempat umum ketika Arsa berumur 16 tahun. Setelah itu, ia tidak berani keluar rumah jika hanya berdua saja dengan Arsa. Dengan Arsa yang tiba-tiba tantrum seperti ini, ia merasa merasa sudah melakukan segalanya untuk Arsa, tapi Arsa masih bisa tantrum dan membuat Ivy merasa tidak berguna.

“Arsa udah seperti ini, saya pikir dia butuh obat penenang. Padahal sebenernya itu yang saya hindari betul, karena saya tahu efeknya tidak baik. Tapi saya juga berpikir apa jangan-jangan saya yang butuh obat penenang, karena habis kejadian itu, saya panick attack dan insomnia berhari-hari.”

Selain itu, pengalaman menyakitkan yang dirasakannya ketika Arsa sempat mengalami penolakan di banyak sekolah. Bahkan, Arsa mengalami penolakan untuk kelas kursus ketika ia sedang berusaha untuk mencari minat dan bakatnya. “Tapi saya menyadari bahwa belum semua orang paham tentang autistik. Mereka pun masih meraba-raba dan terkejut ketika menerima anak autistik di sekolah mereka.”

Ivy Sudjana bersama suami dan kedua anaknya. Dok. Pribadi

Pada saat itu ada salah seorang teman yang perkataannya masih ia ingat sampai sekarang. ‘Seumur hidup kamu akan mengalami cemoohan, cercaan, tindakan meremehkan dari orang-orang terhadap anakmu. Kamu tidak bisa nutup mulut mereka. Kamu capek menghabiskan waktu untuk menutup mulut mereka. Lebih baik kamu melakukan sesuatu, tunjukin sama mereka bahwa kamu bisa. “Jadi perkataan dia itu menampar saya. Saya marah juga tidak ada gunanya.”

Dulu, ia pernah berada di posisi yang menghakimi orang tua lain yang memberikan pengasuhan anak kepada perawat. Ia merasa telah berdedikasi total karena berhenti dari pekerjaan untuk mengasuh dan mendidik Arsa, tetapi ia melihat ada orang tua lain sedang me time padahal anaknya tidak keurus di tempat terapi.

“Memang benar, kita merasakan lelah dan segala macam. Tapi itu menjadi titik balik saya untuk menyadari bahwa kita tetap manusia. Tetap perlu me time untuk melakukan kesenangan tersendiri, bukan berarti kita melupakan. Kalau kita bisa mengimbangi, anak bisa maju dan mental ibunya tetap sehat.”

Kesadaran itu lama banget sampai akhirnya ia tidak merasa bersalah untuk menyediakan waktu bagi diri sendiri. Hal ini cukup melegakan untuk mengeluarkan stres dan menikmati kesendirian. Setelah melakukan me time, ia merasa lebih baik.

“Tanpa saya sadari, menjadi ibu dari anak istimewa adalah kesempatan berharga, mendapat perhatian banyak orang sebagai ibu yang dipandangnya istimewa juga. Sering orang bilang, Arsa 'bercahaya' karena peran besar saya, Ibunya,” ungkap penulis novel Atma untuk Akcaya, yang mengisahkan anak-anaknya.

Namun, seorang Ivy tak akan menjadi ibu yang 'bercahaya' tanpa belajar banyak akan kehadiran Arsa yang menjadi bintang seperti nama yang disematkan, kasih sayang putra keduanya, dan tentu saja cinta serta dukungan belahan hati.

Baca:  Yang Dibutuhkan Ibu saat Pertama Kali Dikaruniai Anak Berkebutuhan Khusus

ANDINI SABRINA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."