Cerita Kartini yang Batal Sekolah di Belanda setelah Bertemu Abendanon

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mila Novita

google-image
Raden Ajeng Kartini bersama dua saudarinya Kardinah dan Roekmini. Wikipedia/Tropenmuseum

Raden Ajeng Kartini bersama dua saudarinya Kardinah dan Roekmini. Wikipedia/Tropenmuseum

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaKartini punya cita-cita menimba ilmu setinggi mungkin. Sayang, di masa hidupnya, perempuan Jawa hanya boleh bersekolah hingga usia 12 tahun. Itu pun hanya gadis dari keluarga ningrat. Perempuan dari keluarga biasa tak punya kesempatan sekolah.

Selepas menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) yang setingkat sekolah dasar, Kartini harus dipingit seperti gadis Jawa pada umumnya hingga menikah. Selama dipingit dia tak berhenti menulis. Pemikirannya banyak dimuat di media berbahasa Belanda. Dia juga terus menulis surat kepada sahabat-sahabatnya, di antaranya Estelle “Stella” Zeehandelaar serta Direktur Pendidikan, Industri, dan Agama Hindia Belanda Jacques Henrij Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Abendanon.

Dari situlah dia dan adiknya, Rukmini mendapat kesempatan meneruskan pendidikan di Belanda berkat bantuan seorang anggota parlemen Belanda yang sangat penting dan berpengaruh, Henri Hubertus van Kol. Menteri Jajahan alias Menteri Seberang Lautan Alexander Willem Frederik Idenburg berjanji memberikan subsidi.

Dia meminta saran Abendanon tentang keberangkatannya. Pejabat setingkat menteri itu sangat dekat dengan keluarganya, Kartini sudah mengaggapnya seperti ayah angkat. Mereka bertemu di Klein Scheveningen, atau dikenal dengan nama Pantai Bandengan, pada 24 Januari 1903.  

Siapa sangka, pertemuan itu menjadi awal kegagalan dua putri Bupati Jepara Raden Mas Ario Sosroningrat itu untuk menjemput cita-cita. Abendanon ternyata tak mendukung keinginan Kartini. Dia meyakinkan perempuan kelahiran 21 April 1879 itu bahwa pergi ke Belanda sama sekali tidak menguntungkan, bahkan dapat merugikan cita-citanya.

Baca juga: Alasan Kartini Mengapa Perempuan Perlu Mendapat Pendidikan

"Jadi sebaiknya Kartini tidak usah ke Belanda," kata Abendanon, seperti tertulis dalam buku Kartini: Sebuah Biografi karya Sitisoemandari Soeroto.

Kartini mengungkap alasan Abendanon mengapa itu tidak menguntungkan, dalam suratnya kepada Eddy Abendanon, putra Abendanon yang sebaya dengannya, dua hari setelah pertemuan itu. Eddy adalah sahabat pena Kartini.

Abendanon punya empat alasan yang membuat Kartini membatalkan rencananya. Pertama, kalau Kartini dan Roekmini pergi ke Belanda selama beberapa tahun, mereka akan dilupakan masyarakat. Padahal mereka ingin mengabdi kepada bumiputra.

Kedua, ayah Kartini telah sepuh dan kondisi kesehatannya kurang baik. Ketiga, di Belanda dua bersaudara ini akan menemui banyak kesulitan yang belum bisa diperkirakan. Dan keempat, mereka akan dicap sebagai "nona Belanda" sekembali ke Tanah Air.

Bila hal itu terjadi, pribumi tidak akan mempercayakan anak-anak gadisnya belajar kepada mereka, sehingga sekolah yang diimpikan Kartini kemungkinan besar akan gagal.

Sebagai gantinya, Abendanon menyarankan Kartini sekolah di Batavia saja karena jauh lebih singkat. Dia juga mengatakan Kartini bisa mengajukan permohonan subsidi kepada Gubernur Hindia Belanda. Sambil menunggu jawaban Gubernur, Kartini bisa segera membuka sekolah yang diinginkan, tanpa perlu menunggu tamat sekolah.

Keputusan membatalkan sekolah Belanda itu ternyata jadi penyesalan terbesarnya. Itu juga mempengaruhi perkembangan jiwanya. Dia juga mengalami sakit keras. Dia kemudian banyak membuat keputusan yang tidak cocok dengan visinya yang diyakini sebagai dampak dari batalnya studi ke Negeri Kincir Angin.

Meski batal sekolah di Belanda, Kartini tetap mewujudkan cita-citanya membuka sekolah untuk perempuan di tahun yang sama, tepatnya 4 Juli 1903. Karena kepeloporannya, hari kelahirannya diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini.

MAJALAH TEMPO

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."