Advertisement
Advertisement
Advertisement

Suara Perempuan Menggema dalam Aksi 17+8 di Depan DPR: Kebijakan Jangan Asal, Harus Empati

foto-reporter

Reporter

google-image
Dinda, salah satu peserta aksi Protes Aliansi Perempuan Indonesia (API) di depan Gerbang Utama DPR, Senayan Jakarta, Rabu, 3 September 2025. CANTIKA/Ecka Pramita

Dinda, salah satu peserta aksi Protes Aliansi Perempuan Indonesia (API) di depan Gerbang Utama DPR, Senayan Jakarta, Rabu, 3 September 2025. CANTIKA/Ecka Pramita

Advertisement

CANTIKA.COM, Jakarta - Aksi yang diinisiasi Aliansi Perempuan Indonesia pada Rabu, 3 September 2025 adalah bentuk protes yang lahir sebagai penolakan terhadap kekerasan dan brutalitas aparat TNI dan Polri, serta sebagai penegasan sikap melawan militerisme yang terus digunakan untuk membungkam suara rakyat. 

Aliansi Perempuan Indonesia menolak narasi yang dibangun rezim Prabowo Subianto, bahwa protes dilekatkan dengan tuduhan makar dan terorisme. PROTES bukan kejahatan, melainkan HAK demokratis yang melekat pada setiap warga negara. Melarang, membatasi, atau menstigma protes adalah cara paling licik untuk memberangus demokrasi.

Sayangnya, protes rakyat justru kerap dijawab negara dengan kekerasan melalui tangan Polri dan TNI. Padahal, jeritan rakyat lahir dari tuntutan atas hak dasar: kehidupan yang layak, lingkungan hidup yang sehat, dan perlindungan hukum yang pasti. Alih-alih memenuhi kewajiban itu, negara malah melahirkan kebijakan yang melanggengkan perampasan hak rakyat serta eksploitasi sumber daya alam.

Puluhan massa aksi memadati gedung DPR berbalut dress code warna pink (merah muda) dan hitam dengan atribut poster dan sapu lidi. Mereka menyuaran sejumlah tuntutan yang berpihak pada rakyat. Di antaranya dengan mencabut fasilitas dan tunjangan DPR, hentikan represifitas terhadap Rakyat, dan berikan keadilan bagi korban adalah poin tuntutan Aliansi Perempuan Indonesia.

Sejumlah perempuan tersebut turut bersuara dalam aksi demonstrasi menuntut realisasi poin-poin 17+8 di depan Gedung DPR RI. Mereka menegaskan bahwa tuntutan masyarakat harus segera didengar dan dibahas secara serius oleh pemerintah maupun parlemen.

Begitu pula dengan Dinda Juwita, pekerja freelance yang menuturkan alasan keikutsertaannya adalah untuk meluapkan keresahan dan kemarahan terhadap kondisi bangsa yang dinilai semakin berantakan. Ia menekankan bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk seluruh elemen masyarakat.

“Ini tuntutan masyarakat, 17+8 itu harusnya didengar, direalisasikan, dan dibahas. Kita berdoa menurut kepercayaan, agama, kemanusiaan, agar suara rakyat benar-benar diperhatikan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya suara perempuan dalam gerakan ini. Menurutnya, perempuan kerap menjadi pengambil keputusan dalam keluarga, sehingga kehadiran mereka membawa nilai empati dalam perjuangan politik dan sosial. “Suara perempuan seringkali lebih empatik. Kebijakan itu jangan hanya dihitung dengan angka-angka, tapi juga harus mempertimbangkan rasa kemanusiaan,” tambahnya.

Ia berharap aksi kali ini tidak berhenti sebatas di Jakarta saja, melainkan bergema di seluruh daerah. Aspirasi publik, tegasnya, tidak boleh dibungkam dengan represi. “Semoga semua aksi didengar pemerintah. Negara ini demokrasi, jadi siapapun, entah perempuan atau kelompok rentan lainnya, harus dijamin kebebasan berpendapatnya,” jelasnya.

Peserta aksi juga mengkritisi pemerintah yang dinilai kerap mengambil keputusan berdasarkan preferensi sempit, bukan kebutuhan rakyat secara menyeluruh. Ia mencontohkan keputusan untuk menaikkan jabatan aparat yang justru sebelumnya dinilai bermasalah.

“Kebijakan pemerintah tidak boleh sembarangan. Aksi seperti ini relevan dengan kondisi saat ini, karena kebijakan yang diambil sering hanya berpihak pada kelompok tertentu,” ucapnya.

Perempuan 35 tahun ini menegaskan bahwa perjuangan ini tidak hanya mewakili satu kelompok, melainkan seluruh elemen masyarakat. “Tuntutan 17+8 sudah mewakili kepentingan semua pihak, bukan cuma perempuan saja. Kalau pemerintah benar-benar mau mendengar, seharusnya ini bisa jadi momentum perubahan,” ujarnya. 

Syahmi, salah satu peserta aksi Protes Aliansi Perempuan Indonesia (API) di depan Gerbang Utama DPR, Senayan Jakarta, Rabu, 3 September 2025. CANTIKA/Ecka Pramita

Suasana penuh semangat dirasakan Syahmi Zafarani Aziz saat untuk pertama kalinya turun langsung mengikuti aksi damai terkait 17+8. Setelah sebelumnya hanya menyuarakan aspirasi lewat media sosial, ia akhirnya memutuskan bergabung bersama massa aksi yang digelar oleh Aliansi Perempuan Indonesia.

“Ini pertama kali bagi aku ikut aksi. Setelah beberapa hari menyuarakan di media sosial, ada keinginan untuk turun langsung dan menyuarakan bersama orang-orang yang punya tujuan sama,” kata Syahmi yang ikut demo bersama ibunya. 

Meski sempat khawatir dengan situasi yang memanas, kehadiran Aliansi Perempuan Indonesia sebagai penyelenggara membuatnya merasa lebih nyaman. “Walaupun panas-panasnya kemarin, aku rasa lebih panas semangat yang dikeluarkan bareng-bareng sama massa aksi yang lain,” ucap perempuan yang baru saja lulus studi Vokasi Universitas Indonesia. 

Syahmi mengaku cukup mengikuti isu 17+8 sejak awal didiskusikan hingga dirilis. Menurutnya, keberadaan media sosial dan situs informasi seperti bijakmemantau.id memudahkan masyarakat untuk memantau pergerakan isu tersebut. “Sekarang informasi bisa diakses dari mana saja dan kapan saja. Tinggal kita yang pintar-pintar memilih mana yang benar dan salah,” jelasnya.

Ada perasaan haru dan semangat yang bercampur saat melihat berbagai komunitas, termasuk komunitas LGBTQ+, ikut menyuarakan aspirasi melalui puisi dan yel-yel. “Itu pengalaman baru buat aku. Senang banget bisa ikut aksi damai yang diikuti berbagai kalangan tanpa rasa takut,” ungkapnya.

Lebih jauh, Syahmi menekankan pentingnya suara perempuan dalam gerakan 17+8. Baginya, perempuan adalah kelompok yang paling rentan menghadapi opresi kebijakan pemerintah, sehingga keberanian untuk bersuara menjadi bentuk keberpihakan pada rakyat. “Aksi damai ini bukti nyata bahwa setiap perempuan berhak atas perlindungan yang layak, serta memiliki ruang untuk bersuara melawan ketidakadilan,” tegasnya.

Pilihan Editor: Review Film A Normal Woman: Saat Perempuan Menolak Tunduk pada Standar Kecantikan

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi Terkini Gaya Hidup Cewek Y dan Z di Instagram dan TikTok Cantika.

Advertisement

Recommended Article

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."
Advertisement