Yang Perlu Anda Ketahui Soal Post Pandemic Stress Disorder (PPSD)

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Kinanti Munggareni

google-image
Post pandemic stress disorder (PPSD) adalah istilah untuk menjelaskan gejala trauma yang terjadi saat dan setelah pandemi berlangsung. (Foto: Pexels/Kat Jayne)

Post pandemic stress disorder (PPSD) adalah istilah untuk menjelaskan gejala trauma yang terjadi saat dan setelah pandemi berlangsung. (Foto: Pexels/Kat Jayne)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Pandemi telah memicu berbagai masalah dan kesulitan pada kita sebagai manusia. Salah satunya adalah masalah kesehatan mental yang kini dikenal dengan Post Pandemic Stress Disorder (PPSD). 

Sejumlah literatur, dikutip dari Psychiatric Times telah mengukur dampak berbagai stresor traumatis yang terkait dengan COVID-19, serta efek dari jenis paparan stres yang tidak terlalu parah. Pandemi COVID-19 telah menyebabkan beragam masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan, depresi, gangguan stres pasca trauma, dan gangguan terkait trauma dan stres lainnya.

Owen O’Kane, seorang psikoterapis dan mantan pimpinan klinis NHS untuk kesehatan mental, telah menciptakan istilah baru - Post Pandemic Stress Disorder (PPSD) - yang menurutnya bisa menjadi masalah serius selama beberapa tahun ke depan.

"Masalahnya adalah bahwa sifat pandemi yang tidak terlihat dapat meminimalkan trauma, sedangkan peristiwa seperti perang akan menormalkan trauma," kata Owen kepada Metro.

Ia melanjutkan, "Saya curiga kita akan melihat peningkatan gejala yang berkaitan dengan kecemasan dan suasana hati setelah pembatasan sosial berkurang. Saya yakin banyak dari gejala ini akan terkait langsung dengan trauma yang mendasarinya dan jika ini tidak dikenali sekarang, maka kita tidak akan cukup siap."

Krisis psikologis yang akan terjadi, dikutip dari Psychology Today, berbeda dengan tidak bisa disebut perang. Namun, kondisi ini akan menyebabkan krisis eksistensial, sebagai dampak hilangnya keselamatan dan keamanan, serta keyakinan, dalam kehidupan yang tampaknya dapat diprediksi.

Ini, bagi banyak dari kita, akan digantikan atau dibarengi dengan kesedihan yang luar biasa. Kita akan terjebak dalam ketakutan. Selanjutnya, kita terperosok dalam kesedihan dan ketakutan ini, dan tidak dapat menghadapinya karena hal itu terus menarik kita kembali ke dalamnya seperti pusaran pasir hisap psikologis. Psikolog menyebut reaksi ini sebagai gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

Perbedan PPSD dengan PTSD

Gangguan stres pascapandemi berbeda dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD), jelas O'Kane. PTSD adalah gangguan kecemasan yang diakui “disebabkan oleh peristiwa yang sangat menegangkan, menakutkan atau menyedihkan”. Ini diperkirakan memengaruhi satu dari tiga orang yang memiliki pengalaman traumatis. Gejala mungkin termasuk: mimpi buruk, kilas balik, sulit tidur, sulit berkonsentrasi, serta merasa terisolasi, mudah tersinggung dan bersalah. Gejala-gejala ini cukup persisten untuk berdampak signifikan pada kehidupan sehari-hari orang tersebut.

Tidak seperti PTSD, ketika orang dihadapkan pada satu peristiwa traumatis besar, pada trauma pandemi - atau PPSD - orang mengalami serangkaian trauma yang lebih kecil, kata O'Kane. Ini ditambah dengan begitu banyak ketidakpastian yang akan berdampak pada kesehatan mental.

Jessica Gold, asisten profesor psikiatri di Universitas Washington di St Louis, mengakui akibat dari "trauma kecil" yang telah menumpuk dari waktu ke waktu. Ia mengatakan kepada HuffPost AS, "kami tidak cukup berbicara tentang bagaimana pandemi ini pada dasarnya merupakan satu peristiwa traumatis besar, dengan banyak trauma kecil di dalamnya (...) Ada banyak orang yang menderita karena itu sekarang."

Gejala Post Pandemic Stress Disorder (PPSD)

Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan bahwa Anda mungkin mengalami PPSD.

Terapis Sara Barry mengatakan kepada Huffington Post, ada peningkatan pasti pada orang yang mencari bantuan untuk dampak trauma pada kesehatan mental mereka. Gejala termasuk peningkatan tingkat ketakutan dan kecemasan yang bermanifestasi sebagai insomnia, perubahan suasana hati, mimpi buruk, OCD, merenung, kewaspadaan berlebihan dan keputusasaan, katanya.

Sementara konselor Kathryn Taylor, menyebut kepada Huffington Post, juga melihat peningkatan klien yang mengalami kecemasan, depresi, dan tidak mampu mengatasinya, mengutip pandemi sebagai titik awal dari perasaan mereka.

Pembatasan sosial telah memperparah gejala yang ada untuk beberapa orang dan memicu trauma yang mendasarinya, kata terapis Sara Barry kepada Huffington Post, yang sebelumnya terselubung oleh rutinitas, struktur, dan gaya hidup yang sibuk sampai semuanya terhenti.

“Mencoba mengatasi emosi ini, tanpa akses ke hubungan sosial, struktur, dan agensi yang mendukung, merupakan tantangan yang luar biasa dan terkadang merugikan kesehatan mental dan fisik orang,” jelasnya.

Barry percaya setelah lockdown, dampak pada kehidupan orang-orang akan menjadi lebih nyata dan hanya setelah itu efek dari trauma kolektif ini benar-benar mulai terbentuk.

“Bagaimana seseorang bereaksi terhadap trauma bergantung pada banyak faktor termasuk tingkat keparahan, tingkat dukungan, tingkat ketahanan dan pengalaman traumatis sebelumnya,” jelasnya. “Ada peluang bagi kami untuk menanggapi krisis ini secara holistik dan memberikan setiap orang kesempatan terbaik untuk pulih.”

Gangguan kesehatan mental bisa terjadi dan dialami oleh siapapun. Bagi Anda yang merasakan gejala terkait Post Pandemic Stress Disorder carilah segera dukungan dari ahli.

Baca juga: Tips Redakan Cemas di Era New Normal Menurut Psikolog

HUFFINGTON POST | METRO | PSYCHOLOGY TODAY | PSYCHIATRIC TIMES

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."