Buku Sepayung Bumi, Cara Mewujudkan Makna Payung untuk Melindungi Alam

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Penerbit Voila, Komunitas Nulis Aja Dulu, dan Festival Payung Indonesia berkolaborasi menerbitkan antologi cerita pendek dan puisi bertajuk Sepayung Bumi/Foto: Cantika/Ecka Pramita

Penerbit Voila, Komunitas Nulis Aja Dulu, dan Festival Payung Indonesia berkolaborasi menerbitkan antologi cerita pendek dan puisi bertajuk Sepayung Bumi/Foto: Cantika/Ecka Pramita

IKLAN

CANTIKA.COM, Solo - Mulai 2022, Festival Payung Indonesia (FESPIN) berusaha menempatkan literasi menjadi bagian penting dari festival dan berusaha menjadi program berkelanjutan. Literasi bukan hanya teks, melainkan juga konteks yang tahun kesepuluh ini diwujudkan dalam antologi cerita pendek dan puisi bertajuk Sepayung Bumi, Alam Adalah Kita. 

Bekerja sama dengan Voila! Publishing dan Komunitas Nulis Aja Dulu, FESPIN menerbitkan kumpulan cerita pendek dan puisi. Sejumlah 18 partisipan penulis cerpen dan 26 penulis puisi telah menyumbangkan karyanya untuk penerbitan buku tersebut. Antara lain; Eka Budianta, Joko Pinurbo, K.H. Ahmad Mustofa Bisri, dan Sujiwo Tejo. 

Menurut Public Relation dan Admin dari Komunitas Menulis dan Membaca NULIS AJA DULU (NAD) Innes Paramitha Bikaristi kerjasama tersebut menjadi yang kedua antara Voila! Publishing dengan Festival Payung Indonesia yakni mengabadikan sebuah perhelatan besar dalam sebuah buku. Undangan menulis CerPen dan Puisi bertema Sepayung Bumi, Alam adalah Kita untuk gelaran FESPIN kesepuluh, sifatnya tertutup kepada mereka yang terpilih. 

"Kami sangat bangga bisa menjadi bagian dari acara ini. Semoga FESPIN semakin jaya dan rutin diadakan setiap tahunnya. Semoga kerjasama dengan kami juga tak pernah putus. Mengutip ungkapan seorang Filsuf Romawi, Cicero, sebuah kamar tanpa buku seperti tubuh tanpa jiwa. Mungkin di masa depan FESPIN tanpa buku seperti festival tanpa jiwa," papar Innes. 

Antologi cerita pendek dan puisi yang diterbitkan Voila, Komunitas Nulis Aja Dulu, dan Festival Payung Indonesia/Foto: Cantika/Ecka Pramita

Innes melanjutkan, mereka yang datang dari Komunitas Nulis Aja Dulu adalah para mentor Ruang Belajar Cerpen yaitu Kurnia Effendi (merangkap editor), Prasetyo Utomo, Achie TM, Gol A Gong, Rani Aditya, Katarina Retno, Diajeng Maya, dan Hermawan Aksan (Mentor Ruang Belajar Editing). Para finalis NAD Akademi satu dan dua yaitu Jenny Seputro, Eki Saputra, Erlyna, Prima Taufik, Windy Martinda, Alfian Budiarto, Baron Negoro, Puput Sekar, Syarwini dan Yuke Neza. Sementara Ruhyat Hardadinata adalah wakil Admin NAD dan Ecka Pramita dari divisi pemberitaan NAD. Di jalur puisi NAD juga mengundang Genoveva Dian, Jauza Imani, Naning Scheid, Ratna Ayu Budiarti, dan Yekti Sulistyorini.

Makna Filosofis Payung bagi Penulis

Sejumlah penulis buku Sepayung Bumi turut menyampaikan kesannya menuliskan tema bumi dan Payung. Penyair Joko Pinurbo mengatakan terdapat tiga kesan yang ada dalam pikirannya saat mendengar kata payung. Pertama, JokPin bernostalgia saat masih kecil, orang tua pernah bilang sedia payung sebelum hujan, tetapi dia justru suka melihat anak kecil main hujan membawa payung. Di tangan anak-anak, makna payung seperti hidup kembali. 

Kedua, sifat payung itu meneduhkan dan mengayomi. "Nah, spirit itulah yang menjadi kesadaran kita di situasi saat ini, kita sering gagal menjadi peneduh satu sama lain, seringnya malah saling membakar. Rasanya relevan jika dikaitkan dengan perkembangan masa sekarang, seperti kebakaran hutan misalnya," ucap dia.

Dan, yang ketiga ialah sebagai pengingat kalau bumi sedang tidak baik-baik saja, pemanasan global makin mencuat. "Kita hidup di bumi yang tidak sehat, yang membuat tidak sehat siapa, ya kita sendiri. Jadi mengingatkan kita dengan istilah pertobatan ekologis, kalau kita tidak bisa merawat alam maka efeknya akan tidak baik untuk kita," ucap penulis kumpulan puisi Di Bawah Kibaran Sarung ini. 

Sementara Genoveva Dian tertarik menuliskan puisi dalam bahasa Jawa dengan alasan rasanya lebih mengena dan mendalam, terlebih ia riset langsung di lereng Merapi. Secara garis besar, puisi yang ditulis perempuan 44 tahun ini ialah cerita tentang pasangan suami istri yang tiap pagi bergelut di sawah, letaknya di lereng peggunungan. 

"Mereka sangat berharap pada alam, tetapi alam telah berubah. Mulai dari banjir dan kebakaran makin merajalela yang dilakukan oleh manusia dan dampaknya juga ke manusia itu sendiri," ucap Geva yang bangga bisa satu buku dengan penyair yang ia idolakan seperti Sujiwo Tejo dan JokPin. 

Padahal, sebagai manusia, lanjut Geva kita diimbau untuk menjaga alam. Geva juga merujuk pada kondisi senyatanya di kediaman dia, termasuk saat musim hujan sudah ikut terkena banjir dan belakangan ini seliweran petugas pemadam kebakaran.  "Payung maknanya memberi harapan untuk mengayomi bumi," ucap penulis novel Kaliandra ini. 

Salah satu puisi karya KH Mustofa Bisri yang tergabung dalam antologi cerita dan pendek Sepayung Bumi, diterbitkan oleh Voila, Komunitas Nulis Aja Dulu, dan Festival Payung Indonesia/Foto: Cantika/Ecka Pramita

Lalu untuk kategori cerita pendek, salah satu penulis Puput Sekar merasa bangga bisa terlibat dalam event besar tahunan itu, sama sekali tidak ia sangka. "Awalnya aku ga tahu siapa aja yang terlibat di dalamnya, tapi setelah tahu ada nama-nama besar kayak Gus Mus, Gola Gong, Sudjiwo Tejo, JokPin, Kurnia Effendi, Hermawan Aksan, Prasetyo Utomo, dan sederet teman-teman hebat dari Nulis Aja Dulu, duh, bener-bener enggak bisa kuungkap pakai kata saking merasa haru dan bangga," ucap Puput. 

Perempuan kelahiran ini 2 November 1984 ini menceritakan proses kreatifnya saat menulis cerita bertema lingkungan hidup. "Terinspirasi dari temenku namanya Jamilah Rachmaningsih, waktu dia ikutan program mengajar di daerah terluar di Indonesia, Niskolen. Awalnya orang tua mereka merasa enggak perlu anak-anaknya sekolah, karena sudah ada guru, presiden, dokter, dan lainnya," ucap penulis buku Joko Klobot dan Nyi Kemretek ini.

Secara garis besar, lanjut Puput, cerita ini mengisahkan guru Geografi yang mengajar di daerah pelosok, terus awalnya kurang diterima sama murid-muridnya. Saat dia memberi materi lingkungan hidup, tiba-tiba ada muridnya yang merasa tercerahkan dan ingin berbuat sesuatu yang berharga untuk bumi dengan menanam pohon-pohon di belakang rumahnya.

Sebagai informasi, tahun lalu FESPIN, Voila! Publishing, dan Komunitas NAD telah melahirkan sebuah buku kumpulan esai yang berjudul Payung Tradisi Nusantara, dengan kata pengantar Prof. Dr. Peter Carey, sejarawan Indonesia modern. 

Pilihan Editor: Festival Payung Indonesia 2023 Siap Digelar, Catat Tanggal dan Ragam Acaranya

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika


Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."