Spesial Hari Ibu, Agar Aziza Mendapatkan Kesempatan yang Sama

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Illian Deta Arta Sari saat ditemui di kediamannya, Jakarta, Rabu, 15 Desember 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Illian Deta Arta Sari saat ditemui di kediamannya, Jakarta, Rabu, 15 Desember 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - "Aziza sini, tante mau lihat alat pendengarannya," kata Illian Deta Arta Sari memanggil anak bungsunya saat Cantika menghampiri rumah mereka untuk wawancara edisi khusus Hari Ibu, pada 15 Desember 2021.

Ilian terbiasa menjelaskan kepada tamu atau anak-anak kecil yang kagum dengan alat pendengaran yang dikenakan anak bungsunya, Aziza Sakhia Supriyadi, di kedua telinganya. Ada alat pendengaran yang tersangkut di kedua daun telinga Aziza. Alat itu tersambung dengan kabel yang ujungnya magnet, dan magnet itu terpasang di sisi kepala kanan dan kiri Aziza. "Magnet ini, tersambung dengan titanium yang tertanam di dalam kepala Aziza," kata IIlian santai.

Pada usianya 2,9 tahun, Illian dan keluarga sudah bersepakat meminta dokter memasang implan koklea di dalam kepala Aziza. Kepala batita mungil itu ditanam elektroda dari bahan titanium hingga ke rumah siputnya untuk menggantikan fungsi sel-sel rambut koklea yang rusak. Alat ini berfungsi menghantarkan impuls suara langsung ke syaraf pendengaran yang kemudian meneruskan ke otak.

Walau informasi itu sudah berkali-kali ia sampaikan kepada orang-orang selama 5 tahun terakhir, Illian tetap bersemangat menjelaskannya kepada Cantika. "Banyak anak yang penasaran dengan lampu kedap-kedip di alat pendengaran itu. 'Kok bisa nempel di kepala' kata anak-anak teman Aziza. Mereka pikir itu mainan." kata Illian menjelaskan rasa penasaran teman-teman Aziza ketika mengobrol dengan Illian.

Illian Deta Arta Sari dan anaknya, Aziza saat ditemui di kediamannya, Jakarta, Rabu, 15 Desember 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Daripada alat pendengaran itu dikira mainan dan diutak atik oleh anak-anak, Illian biasanya akan dengan senang hati menjelaskan bahwa alat itu sangat penting bagi Aziza. Hanya dengan alat itu, Aziza bisa mendengar suara di sekitarnya. Harganya pun tidak main-main, 5 tahun lalu Illian membelinya seharga Rp 245 juta. "Itu harga paling murah dibanding alat-alat sejenisnya. Sekarang harganya bisa mencapai Rp 300 juta," kata Illian yang mengingatkan agar Aziza selalu berhati-hati menggunakan dan merawat alat pendengarannya itu.

Aziza mengalami gangguan pendengaran sejak di dalam kandungan yang diduga karena virus CMV. Hal itu baru diketahui Illian ketika Aziza berusia 2,5 tahun. Illian bercerita ia memang tidak melakukan hearing screening ketika melahirkan Aziza di rumah sakit swasta di Jakarta.

Saat Aziza berusia 1 tahun, Illian mulai melihat keanehan mengapa putri satu-satunya itu tidak mengoceh ketika anak-anak seumurannya sudah mulai mengeluarkan suara tidak jelas, atau mulai bergumam. Ia menduga Aziza memang orangnya pendiam, seperti kakak keduanya yang memang sedikit terlambat berbicara. "Tapi anak kedua aku, pada usia 3,5 tahun sudah sangat cerewet," kata ibu 3 anak ini.

Aziza sempat harus tinggal bersama ayahnya, ketika Illian belajar ke Melbourne Australia. Sambil beberapa kali bolak-balik Australia-Indonesia, Illian terus memantau perkembangan anaknya itu. "Saya dan suami heran mengapa Aziza kalem sekali. Saya sempat browsing mengapa anak tidak banyak bicara. Ada dugaan anak itu tuna rungu. Tapi waktu itu saya denial, tidak mau mempercayai artikel itu," kata Illian.

10 hari setelah Illian menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia, Illian memutuskan untuk mengajak Aziza terapi berbicara. Sayang kursus terapi bicara itu memerlukan rekomendasi dokter tumbuh kembang anak. "Sambil cek ke dokter tumbuh kembang anak, saya juga ke dokter THT karena membaca artikel itu," kata Illian.

Hasilnya, dokter menyebutkan Aziza mengalami gangguan pendengaran yang sangat berat. Hasil tes untuk mengetahui gangguan pendengaran, yaitu tes brainstem evoked response audiometry (BERA) dan Auditory Steady State Response (ASSR). menunjukkan bahwa Aziza hanya bisa mendengar suara diatas 110 desibel atau setara deru suara pesawat dari dekat. "Yang rusak itu, di rumah siput telinga Aziza," kata Illian mencoba menjelaskan dengan sederhana.

Setelah mendengar penjelasan dokter dulu, Illian diam seribu bahasa. Ia hanya bisa terus menangis ketika melihat anak mungilnya tertawa dan tersenyum. "Saya saat itu baru pulang dari sekolah di Australia, berbagai cita-cita sudah saya rencanakan untuk bisa 'terbang' tinggi. Tapi mendengar kabar itu, rasanya seperti saya yang lagi terbang, malah terjun bebas. Sedihnya itu melebihi saya kehilangan orang tua," kata Illian.

Kira-kira seminggu Illian selalu menyendiri dan menangisi kondisi anaknya saat itu. Setelah mengumpulkan keberanian, sekaligus mencoba menerima fakta, ia akhirnya menuliskan kisahnya di media sosial facebook sebagai bentuk self healing.

Melihat kabar di media sosial soal Aziza, banyak orang yang mencoba membantu. Ada salah satu teman lamanya yang mengenalkan Illian kepada ibu Gouri Mirpuri, istri mantan duta besar Singapura untuk Indonesia. Bu Gouri mempunyai anak seperti Aziza. Illian berkomunikasi panjang lebar dengan Gouri melalui email. "Yang saya ingat dari perkataan bu Gouri adalah 'You have to decide fast, move quickly'. Saya harus cepat mengambil keputusan," kata Illian.

Tidak berapa lama, Illian juga diperkenalkan oleh Pak James Kallman. James adalah seorang warna negara Amerika yang beristrikan orang Indonesia, ibu Dewi. Putri mereka, Mei Lin terlahir dengan kondisinya sama seperti Aziza. James bercerita, dulu tahun 2000, anaknya terdeteksi awal di usia 6 bulan dan menjalani implan koklea yang pertama kali di umur 1 tahun. Mei Lin saat itu sedang sekolah musim panas di Harvard University. "Mendengar kisah itu, saya merasa ada tumbuh harapan, dan saya searching soal implan koklea, tapi saya kalut harus apa," kata Illian.

Ia terus mencari informasi. Merawat anak berkebutuhan khusus sangat baru bagi Illian. Selama hidupnya, ia tidak pernah berkomunikasi dengan komunitas berkebutuhan khusus. Ia belum ada bayangan seperti apa kehidupan anaknya nanti. Berbagai informasi ia terima. Ia bahkan menemui salah satu saudara jauhnya yang memiliki anak dengan implan koklea. Anak itu sudah berusia kelas 5 SD. Saat Illian bertemu anak itu, ia berbicara dengan Illian dalam bahasa Inggris yang fasih. "Eh, bisa ngomong lancar ya," kata Illian yang semakin yakin soal pertimbangan implan koklea.

Setelah berdiskusi panjang, akhirnya Illian dan keluarga memutuskan untuk segera melakukan implan koklea untuk Aziza. Untuk melakukan operasi implan koklea membutuhkan persiapan 3 bulan. Aziza perlu melakukan berbagai tes untuk persiapan operasi besar itu.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."