Spesial Hari Ibu, Agar Aziza Mendapatkan Kesempatan yang Sama

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Illian Deta Arta Sari saat ditemui di kediamannya, Jakarta, Rabu, 15 Desember 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Illian Deta Arta Sari saat ditemui di kediamannya, Jakarta, Rabu, 15 Desember 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

IKLAN

Tantangan yang terus berdatangan

Selama persiapan, tantangan pun terus berdatangan. Pertama dari mulai tawaran untuk melakukan pengobatan alternatif. Operasi implan koklea yang terdengar mengerikan karena harus membuka tengkorak tetap saja sempat membuat keluarga ragu. Ibu Illian menawarkan untuk pergi ke seorang kyai yang, kata orang, paham soal mengobati pendengaran. Demi patuh terhadap orang tua, saran sang ibu pun diikuti oleh Illian. "Tapi dengan syarat, kalau pengobatannya aneh, kita tidak lanjut ke sana lagi," kata Illian bertransaksi kepada ibundanya.

Ketika sampai di tempat praktik itu, ternyata telinga Aziza tidak diberikan alat bantu apapun. Telinga Aziza hanya didekatkan nasi panas. Sang kyai bahkan melarang Aziza menggunakan alat bantu dengar yang sedang dikenakan untuk persiapan operasi implan koklea Aziza. Ia mengatakan alat itu akan mengeluarkan radiasi yang justru akan merusak telinga Aziza. "Sampai di rumah, saya bilang ke ibu saya bahwa saya tidak mau lagi ke pengobatan alternatif itu. 'Pengobatan yang diberikan tidak masuk akal'," kata Illian ke ibunya yang akhirnya luluh mau ikut berjuang untuk implan koklea.

Tantangan lain adalah soal dana. Illian harus menyiapkan Rp 245 juta untuk pemasangan titanium itu. Illian mengaku saat itu ia baru pulang sekolah dari Australia. Ia tidak memiliki dana untuk melakukan operasi itu. Tapi tidak disangka, teman-temannya mau membantunya. "Setelah aku berani membuka diri untuk menerima bantuan, ada saja yang datang. Tiba-tiba bersilaturahmi, dan membawakan uang Rp 10 juta atau Rp 5 juta. Dan pada sepekan, benar saja terkumpul Rp 245 juta, tak kurang tak lebih," kata Illian yang memang hanya membuka donasi selama sepekan. "Allah memang maha mencukupkan," lanjutnya.

Pemasangan implan koklea berjalan lancar. Namun pembiasaan menggunakan alat untuk Aziza ternyata tidak semudah yang dipikirkan. "Aziza awalnya gemetar hebat ketika baru pertama kali mendengarkan suara," kata Illian.

Ia membiarkan Aziza membiasakan diri dengan alat bantu dengarnya. Aziza diminta untuk menggunakan alat bantu dengar bila ingin keluar kamarnya. Tidak jarang Aziza lebih memilih di kamar seharian daripada menggunakan alat itu. Hingga akhirnya setelah beberapa hari, Aziza sendiri yang mau mencari alat bantu dengarnya itu.

Urusan tidak selesai hanya sampai pemasangan implan koklea saja. Illian mengatakan ada berbagai tagihan seumur hidup yang membuntuti pengobatan itu. Kabel alat bantu dengar itu biasanya putus setahun sekali. Biaya kabel itu pun minimal Rp 1 juta. Belum lagi bila baterai yang digunakan setiap hari itu jadi kembung. Tidak main-main, Illian harus 'jajan' Rp 10 juta untuk pergantian baterai itu. Lalu setelah beberapa tahun, perlu pula penyesuaian alat bantu dengar yang harganya bisa mencapai ratusan juta. "Kita saja kalau handphone selalu upgrade. Tidak mungkin lagi kan kita gunakan handphone nokia jadul di zaman iphone atau android saat ini. Sama dengan handphone, alat bantu dengar itu perlu terus diupgrade," katanya.

Illian Deta Arta Sari saat ditemui di kediamannya, Jakarta, Rabu, 15 Desember 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Illian pun harus membantu Aziza untuk mengikuti terapi bicara seharga Rp 250 ribu setiap 1,5 jam. Aziza yang baru mulai belajar bicara di usia 2,9 tahun pun harus 'berlari' mengejar ketertinggalannya dari anak-anak seusianya. Lidah dan rahangnya sempat kaku karena tidak pernah digunakan untuk berbicara sebelumnya. Illian secara intensif terus mendampingi Aziza untuk berlatih terapi bicara. Perlu perjuangan khusus agar Aziza bisa melafalkan huruf vokal apalagi huruf konsonan. "Butuh 6 bulan agar Aziza bisa mengucapkan huruf 'i'," kata Illian.

Tidak terasa pada Juli 2021, Azizah sudah masuk Sekolah Dasar. Illian memasukkan Azizah ke sekolah swasta dengan bahasa pengantar Bahasa Inggris. Illian menyekolahkan Aziza di kelas kecil. Ketika masa taman kanak-kanak, dalam satu kelas hanya 10 orang dan diawasi oleh 2 guru. Di sekolah dasar ini, hanya ada 20 orang murid yang juga diawasi 2 guru saat mengajar. "Di sekolah itu, ada beberapa anak difabel. Sehingga murid dan gurunya sudah terbiasa menangani anak berkebutuhan khusus," kata Illian.

Saat ini, Azizah tidak hanya bisa melafalkan huruf abjad, tapi ia bahkan bisa memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris. Kepada Cantika, Aziza pun percaya diri melafalkan Pancasila yang sudah dia hapal di luar kepala. Ia juga berani datang ke warung untuk membeli minuman.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."