Awal Perkenalan Kartini dengan Stella Zeehandelaar, Sahabat Pena Pertama

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Yunia Pratiwi

google-image
RA Kartini. Wikipedia/Kementerian Penerangan

RA Kartini. Wikipedia/Kementerian Penerangan

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Raden Ajeng Kartini atau yang dikenal dengan Kartini, salah satu pahlawan yang memperjuangkan hak-hak wanita. Semasa hidupnya ia tak pernah berhenti menulis dan membuat ratusan surat yang kebanyakan ditujukan kepada para sahabat penanya, yang sebagian besar orang Belanda.

Korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh Belanda berawal dari perkenalannya dengan Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara Ovink, yang mulai bertugas di sana tepat sesaat sebelum dia masuk pingitan. Dalam buku kenangannya, Persoonlijke herinnering aan Raden-Adjeng Kartini tahun 1925, Marie mengisahkan bahwa Kartini dan adik-adiknya memanggilnya "Moedertje" (ibu tersayang) dan mereka sering ia ajak mandi ke pantai atau piknik. Dia pulalah dan suaminya pula yang terus-menerus melunakkan hati ayah Kartini, R.M.A.A. Sosroningrat agar melonggarkan ikatan pada putri-putrinya hingga akhirnya melepaskan mereka dari pingitan.

Marie Ovink dikenal sebagai pengarang novel remaja Belanda yang produktif. Dia juga termasuk tokoh feminis pada masa ketika feminisme sedang tumbuh pesat di Belanda. Salah satu artikelnya di majalah mingguan perempuan muda Belanda, De Hollandsche Lelie, misalnya, Marie menilai adat perjodohan dan poligami di masyarakat Jawa itu mengerikan. Tulisan ini yang dibaca Kartini dan mempengaruhinya dalam memandang poligami.

Marie juga yang mengenalkan Kartini dengan sastra feminis Belanda, seni lukis, bahasa Belanda, serta mendorong gadis yang dia sebut lembut dan cerdas untuk mengarang. Bahkan bisa membujuk ayah Kartini untuk berlangganan majalah De Hollandsche Lelie untuk Kartini dan adik-adiknya. Majalah itu diasuh Johanna van Woude, nama pena Sophie Margaretha Cornelia van Wermeskerken, salah satu perempuan pertama yang jadi anggota Masyarakat Sastra Belanda. Hubungan Marie dan Kartine berlanjut lewat surat menyurat ketika dia harus pindah ke kota lain.

Awal mula Kartini mendapat sahabat pena berkat inisiatifnya menulis surat kepada Johanna untuk membuat iklan yang berisi permintaannya mencari sahabat pena. Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, umur sekian dan seterusnya, ingin berkenalan dengan seorang 'teman pena wanita' untuk saling surat-menyurat. Yang dicari ialah seorang gadis dari Belanda yang umurnya sebaya dengan dia dan mempunyai banyak perhatian terhadap zaman modern serta perubahan-perubahan demokrasi yang sedang berkembang di seluruh Eropa," demikian bunyi iklan yang terbit pada edisi 15 Maret 1899, seperti dikutip Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi.

Estelle Zeehandelaar atau yang dikenal dengan Stella Zeehandelaar, aktivis feminis yang lima tahun lebih tua daripada Kartini, yang menjawab iklan tersebut. Korespondensi di antara dua gadis berpikiran maju dari dua bangsa berbeda yang belum pernah bertemu seumur hidup itu mulai terjalin.

Stella pegawai di Kantor Pos, Telepon, dan Telegram di Amsterdam. Ia anggota Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (SDAP), partai buruh sosial-demokratik Belanda, dan bersahabat dengan Henri Hubert van Kol, tokoh SDAP yang duduk di Tweede Kamer (parlemen Belanda), yang belakangan juga jadi sahabat pena Kartini. Selain bekerja, Stella adalah pembela hak-hak perempuan, anak-anak, kaum miskin, binatang, dan rakyat jajahan.

Surat pertama Kartini kepada Stella memperkenalkan dirinya sebagai anak Bupati Jepara dari keluarga yang sadar pendidikan tapi terkurung dalam pingitan. "Panggil saja aku Kartini—itu namaku," tulisnya dalam surat bertanggal 25 Mei 1899.

Surat-surat Kartini bernada intim dan menunjukkan dialog yang intens tentang berbagai topik, seperti buku yang dibacanya dan tulisannya di berbagai media. Dia juga membahas tradisi perjodohan, poligami, opium, agama, bahasa Belanda sebagai pembuka pintu pengetahuan, nasib perempuan Jawa yang tertindas, kebijakan politik kolonial yang merugikan pribumi, keinginannya mendirikan sekolah, dan rencananya bersekolah di negeri kelahiran pelukis Rembrandt itu.

Perkenalan Kartini dengan Stella dan Marie Ovink membuka jalur perkenalannya—lewat pertemuan dan surat—dengan tokoh feminis dan pendukung Politik Etis lain, seperti Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Abendanon-Mandri, serta anak mereka, E.C. Abendanon; Hendrik de Booy, ajudan Gubernur Jenderal Rooseboom, dan istrinya, Hilda Gerarda de Booy-Boissevain; Henri Hubert van Kol, anggota parlemen dari SDAP, dan istrinya, Nellie van Kol Porreij, editor Hollandsche Lelie; Dr Nicolaus Adriani, pendeta dan ahli bahasa di Poso; serta G.K. Anton, guru besar ilmu kenegaraan di Jena, Jerman.

Baca juga: Cerita Kartini yang Batal Sekolah di Belanda setelah Bertemu Abendanon


 

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."