Begini Cara Memuji Anak yang Tepat Menurut Penelitian

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi ibu dan anak. Shutterstock

Ilustrasi ibu dan anak. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, JAKARTA - Orang tua kerap memuji anak mereka karena merasa hal itu akan mendorong kemampuan dan percaya diri buah hati untuk berbuat lebih baik lagi. Tetapi, sebuah penelitian baru mengatakan bahwa orang tua yang memuji anaknya, misalnya dengan menyebut mereka pintar sebenarnya bisa menjadi bumerang. Mengapa?

Contohnya ketika anak mendapatkan nilai A atau membuatkan puisi untuk orang tua mereka. Anda pasti tidak bisa menahan diri untuk mengatakan “Wah, pintar sekali!”. Ternyata pujian tersebut bisa menjadi pujian yang kontraproduktif.

Anak-anak yang berpikir bahwa kecerdasan mereka "sudah baik" dan selalu dipuji oleh orang tuanya cenderung kurang ada keinginan untuk berkembang dan memperbaiki kesalahannya, dibandingkan dengan anak-anak yang berpikir bahwa kecerdasan mereka akan tumbuh dan berubah.

Memuji anak bahwa mereka cerdas mendukung gagasan bahwa, kecerdasan itu adalah hadiah genetik dan bukan keterampilan yang dapat ditingkatkan.

Dalam studi yang diterbitkan di dalam Journal Developmental Cognitive Neuroscience, penelitian di Michigan State University, Amerika Serikat, yang mengamati 123 siswa berusia sekitar 7 tahun. Tim menilai siswa apakah mereka memiliki cara berpikir berkembang (percaya bahwa seseorang dapat bekerja lebih keras untuk menjadi lebih pintar) atau cara berpikir tetap (percaya bahwa kecerdasan tidak dapat diubah).

Para siswa ini diminta untuk menyelesaikan sebuah game di komputer dan aktivitas otak mereka direkam. Permainannya adalah, membantu seorang penjaga kebun binatang menangkap hewan-hewan yang melarikan diri dengan menekan tombol spasi, ketika seekor binatang muncul di layar. Kecuali jika yang muncul adalah sekelompok tiga orang utan, tombol tidak boleh ditekan.

Dari aktivitas otak yang direkam, ditemukan bahwa aktivitas otak melonjak dalam setengah detik setelah melakukan kesalahan. Ini terjadi karena ketika anak-anak menyadari kesalahan, mereka lebih memperhatikan hal apa yang salah. Semakin besar respons otak, semakin banyak anak berfokus pada kesalahan.

Peneliti menyimpulkan bahwa anak-anak dengan cara berpikir berkembang memiliki respons otak yang lebih besar setelah mereka membuat kesalahan pada permainan itu. Hal tersebut membuat mereka meningkatkan kinerja dengan lebih memperhatikan tugas dan kesalahan.

Sementara itu, anak dengan cara berpikir tetap tidak mau mengakui kesalahan yang dilakukan. Implikasi utamanya adalah bahwa kita harus lebih memperhatikan kesalahan dan menggunakannya sebagai kesempatan untuk belajar.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan orang tua? Jangan memberikan pujian yang menunjukkan bahwa kecerdasannya sudah cukup. Seperti mengatakan bahwa "Kamu sangat pintar", tapi Anda bisa mengatakannya dengan, "Jika kamu belajar keras, kamu akan mendapatkan hasilnya,".

Kemudian, biasakan pada anak untuk mengatasi kesalahan secara bersama-sama. Banyak orang tua dan guru yang menghindar untuk mengatasi kesalahan anak dengan mengatakan, “Tidak apa-apa, lain kali kamu pasti benar”.

Melakukan hal itu tidak memberi mereka kesempatan untuk mencari tahu apa yang salah dan bagaiman cara mengatasinya. Alangkah baiknya, orang tua dapat memberi tahu anak bahwa kesalahan itu bisa terjadi dan tidak akan mengurangi kemampuan yang mereka miliki.

Bu, bukan berarti pelit pujian, ya. Anak-anak juga butuh apresiasi dan dukungan atas apa yang dilakukannya. Lontarkan pujian yang tepat dengan pilihan kata yang memacu semangat belajar hal-hal baru.

NURUL FARA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."