Perempuan Komika Dianggap Masih Tabu? Ini Kata Sakdiyah Ma'ruf

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Komika Sakdiyah Maruf ditemui dalam acara Diskusi Generation Equality yang digelar oleh UN Women di Jakarta, Senin 9 Desember 2019. TEMPO/Eka Wahyu Pramita

Komika Sakdiyah Maruf ditemui dalam acara Diskusi Generation Equality yang digelar oleh UN Women di Jakarta, Senin 9 Desember 2019. TEMPO/Eka Wahyu Pramita

IKLAN

CANTIKA.COM, JAKARTA - Tak menutup mata di beberapa bidang pekerjaan, eksistensi perempuan masih dipandang sebagai subordinat, tak terkecuali di bidang stand up comedy. Kondisi tersebut juga dirasakan oleh perempuan komika Sakdiyah Ma'ruf.

Perempuan yang akrab disapa Diyah ini menjadi perempuan komika pertama yang berhijab di Indonesia. Diyah dikenal melalui humor-humornya yang membahas seputar Islam untuk mengatasi ekstremisme Islam di Indonesia. Dalam perjalanannya sebagai komika, Diyah menemui beragam tantangan di antaranya dari soal gender, busana hingga konten humor yang disampaikan.

"Dalam suatu kesempatan saat manggung pernah ada komentar yang sangat tidak mengenakkan, orang itu menyoroti bra yang saya kenakan ceplak di baju saya. Jadi mereka melihat secara keseluruhan penampilan saya, bukan konten yang sampaikan," ucap Diyah usai ditemui di acara Diskusi Generation Equality yang diadakan UN Women di Jakarta, Senin 9 Desember 2019.

Tak hanya dari segi penampilan, menurut perempuan kelahiran 11 Februari 1982 ini, ada anggapan jika seorang perempuan melucu itu masih tabu. Masyarakat masih meyakini kalau perempuan melawak tidak pantas. Bila perempuan tertawa lepas, bayangannya seperti nenek sihir.

"Penerimaan penonton terhadap komedian tunggal perempuan tak sebanyak, jika komedian itu laki-laki. Padahal kami kan punya kesempatan dan kemampuan yang sama dengan mereka, kenapa enggak dilihat materi yang kami sampaikan. Kenapa kok malah jadi apa yang terlihat dari fisik kami," ungkap Diyah.

Selain itu, materi komedi pun masih dipandang seksis, yaitu diskriminasi atau prasangka berdasarkan jenis kelamin. Audiens sendiri lebih menyukai lelucon yang seksis dan minim edukatif.

"Bahkan ketawa saja, ya, kalau di berbagai literatur yang saya baca masih dianggap tabu dilakukan oleh perempuan. Terlebih perempuan yang tidak punya privilege lebih, seperti kemanan, pekerjaan, dan support system," tambah Diyah.

Alumni Universitas Gajah Mada ini berharap ke depannya bisa terus menyampaikan materi lelucon yang ramah gender dan tidak seksis, seperti yang mungkin selama ini banyak ditemui di masyarakat.

"Termasuk juga sikap-sikap intimidatif yang kerap dialami perempuan, tak hanya pekerjaan yang saya jalankan, tapi juga di bidang lainnya," pungkas Diyah.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."