Tiga Terapi untuk Anak Autisme, dari Perilaku hingga Okupasi

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mila Novita

google-image
Ilustrasi terapi untuk anak/autisme. Shutterstock

Ilustrasi terapi untuk anak/autisme. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Anak pertama aktris Dian Sastro, Shailendra Naryama Sastraguna Sutowo, didiagnosis mengalami autisme. Beruntungnya gangguan itu diketahui sejak bayi sehingga bisa dilakukan intervensi sejak dini.

Menurut Dian, Shaien, panggilan Shailendra, menjalani terapi selama empat tahun. Di usia enam tahun, anaknya dinyatakan sudah tidak membutuhkan terapi lagi.

"Saat ini anak saya sudah kelas 3 SD. Dari kelas satu hingga selema SD sudah tidak terapi lagu dan berfungsi denganbaik. Di sekolah dia bisa mengikuti pelajaran denganbaik dan punya banyak teman. Alhamdulillah," kata Dian Sastro dalam konferensi pers Special Kids Expo atau Spekix 2019 di Jakarta, Jumat, 23 Agustus 2019.

Ketua Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) Gayatri Pamoedji, mengatakan jika anak terdiagnosis autisme, segera lakukan penanganan dengan memberikan terapi yang mencakup tiga hal yakni perilaku, bicara, dan okupasi.

"Untuk bicara bisa dimulai dengan 10 benda yang paling sering anak pakai. Di rumah usahakan 30-40 jam per minggu dilakukan terapi," kata dia di acara yang sama. 

Untuk terapi okupasi, bisa berupa olahraga untuk mengoordinasikan motorik halus seperti gerakan jari, motorik kasar misalnya gerakan kaki dan ini bisa dilakukan melalui bantuan orang tua di rumah.

"Orang tua yang harus belajar. Penelitian menunjukkan, 80 persen anak berkebutuhan khusus sukses karena orang tuanya (membantu)," tutur Gayatri.

Orang tua perlu memberikan tiga kali lipat kasih sayang pada anak dengan autisme di rumah karena mereka merasa tidak aman di luar rumah, sambung dia.

Selain itu, dukungan keluarga besar menjadi hal penting. Jika belum bisa menerima, setidaknya jangan menghakimi anak dengan autisme.

"Anak autis tantrum di mal misalnya, jangan dilihat lebih dari lima detik karena tidak menolong, orang tua merasa terpojok. Jangan dikira anak autis tidak punye perasaan. Jangan bercanda pakai kata autis," kata dia.

ANTARA 

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."