Ciri Anak yang Rentan Mengalami Bullying di Sekolah

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Yunia Pratiwi

google-image
Ilustrasi bullying. shutterstock.com

Ilustrasi bullying. shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Anak yang menjadi korban penindasan di sekolah, akan menunjukkan tanda-tanda mengalami bullying yang bisa Anda amati. Misalnya, anak akan sangat ketakutan untuk kembali ke sekolah dan mengalami separation anxiety. Selain itu, anak mungkin akan sering mengalami mimpi buruk, perubahan perilaku, nafsu makan yang turun, bahkan mungkin mengompol di rumah.

Baca juga: Kenali Tanda Anak Menjadi Korban Bullying

Perisakan atau bullying di sekolah merupakan keadaan serius, yang harus segera ditangani. Apabila dibiarkan, anak akan tidak bersemangat untuk belajar sehingga membuat performa akademiknya menurun. Membiarkan anak terus di-bully juga akan membuat ia rentan untuk menderita gangguan mental, seiring tumbuh kembangnya. Berikut ini tipe anak yang rentan mengalami bullying di sekolah.

#1. Anak yang pintar
Siswa yang menjadi korban bullying biasanya termasuk anak yang pintar dan cerdas, atau mungkin memiliki keahlian yang membuatnya sering dipuji. Pelaku perisakan bisa merasa minder atau iri dengan keahlian anak tersebut.

#2. Siswa yang tidak memiliki teman
Anak yang menjadi korban bullying cenderung tidak memiliki teman. Kalaupun punya teman, jumlahnya sedikit. Akibatnya, korban akan menjadi sasaran untuk di-bully, dikucilkan dari acara-acara sekolah, dan sering menghabiskan waktu sendirian.

#3. Murid yang disukai di sekolah
Anak yang disukai oleh siswa-siswi lain, juga kerap menjadi sasaran bully di sekolah. Pelaku perisakan kerap merasa terancam, dengan popularitas yang dimiliki oleh korban. Jenis bullying ini disebut dengan agresi relasional, yang cenderung sering dilakukan ‘geng murid perempuan’ popular, terhadap anak perempuan lain. Contoh perilaku bullying agresi relasional yakni menyebarkan rumor, memengaruhi orang lain untuk membenci korban, atau merusak kepercayaan diri seseorang.

Fenomena agresi relasional ini, mungkin juga mengingatkan Anda dengan cerita Mean Girls, film terkenal adaptasi novel, yang dibintangi oleh Lindsay Lohan dan Rachel McAdams.

#4. Anak dengan kebutuhan khusus
Mungkin Anda sudah sering melihat film dengan plot cerita ini. Namun dalam kenyataannya, anak yang berkebutuhan khusus, atau memiliki penyakit tertentu, rentan mengalami bullying di sekolah. Korban bullying dalam kelompok ini, misalnya anak dengan gangguan spektrum autisme, penderita ADHD, down syndrome, atau gangguan disleksia.

#5. Murid dengan keunikan fisik
Anak yang memiliki ciri fisik unik dan berbeda dari siswa kebanyakan, juga rentan menjadi korban perundungan. Misalnya, anak dengan mata sipit, postur tubuh yang dianggap terlalu pendek, kelewat tinggi, gemuk, dan ciri fisik lainnya.

Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang Januari-April 2019, setidaknya ada 20 kasus bullying, yang melibatkan kekerasan fisik dan psikis. Perundungan tersebut pun berupa saling ejek di dunia maya, yang berlanjut ke dunia nyata.

#6. Siswa yang berasal dari suku, etnis, ras, dan agama tertentu
Kasus bullying yang melibatkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sudah sangat sering terjadi. Pada akhir tahun 2019, seorang anak di Alabama, Amerika Serikat, dilaporkan bunuh diri. Disebutkan oleh keluarganya, ia melakukan bunuh diri sebagai akibat bullying rasisme karena korban berasal dari keluarga kulit hitam.

Bullying di sekolah merupakan hal yang nyata, dan mungkin dapat terjadi pada anak Anda. Apabila anak Anda menjadi korban perisakan, ada beberapa langkah membantu korban bullying, yang bisa dilakukan. Misalnya mengeskpresikan kepedulian Anda, menyampaikan bahwa menjadi korban bullying di sekolah bukan kesalahan anak, mencari bantuan dari pihak sekolah, menemui anak yang menjadi pelaku bullying, sampai mencari bantuan psikolog atau psikiater, jika kondisi mental anak sangat parah karena mengalami bullying.

SEHATQ

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."