Bayi Usia 6-24 Bulan Perlu Diwaspadai Terkena Infeksi Pneumonia dan Diare

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi ibu dan bayi di luar ruangan. Foto: Unsplash/Bethany Beck

Ilustrasi ibu dan bayi di luar ruangan. Foto: Unsplash/Bethany Beck

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Menteri Kesehatan Budi Gunadi mengingatkan agar masyarakat memperhatikan kesehatan bayi, khususnya di usia 6-24 bulan. Menurutnya, di usia ini bayi sangat rentan terinfeksi pneumonia dan diare. Untuk itu, ia menyarankan untuk melakukan intervensi melalui pemberian vaksin PCV dan rotavirus yang bisa melindungi bayi dari infeksi berulang. Bagi bayi di bawah usia 6 bulan, dipastikan kebutuhan ASI eksklusifnya terpenuhi.

“Infeksi terbesar di bayi adalah pneumonia dan diare, makanya imunisasi penting untuk bayi. Untuk bayi yang teridentifikasi berisiko stunting, harus kita cegah dengan protein hewani. Bisa dari telur, ayam, ikan, daging, susu, dan segera diintervensi untuk diukur dengan timbangan,” ujar Budi dalam Sosialisasi Kebijakan Intervensi Percepatan Penurunan Stunting tahun 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat 3 Februari 2023.

Seperti dikutip Klikdokter, diare pada bayi terjadi ketika feses menjadi lebih cair atau berair. Umumnya kasus diare disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, dan parasit yang menyerang saluran pencernaan.Selain infeksi, diare pada bayi dapat disebabkan oleh perubahan pola makanan ibu, terutama bila bayi masih minum ASI.

Selain itu, makanan bayi (bila minum susu formula), obat-obatan, suplemen, alergi susu, atau intoleransi susu juga bisa menjadi penyebab bayi mengalami diare. Bila orang tua tidak mengatasi diare tersebut dengan baik, efek samping berupa dehidrasi dapat terjadi pada bayi.

Pneumonia, seperti dikutip dari Halodoc, adalah peradangan paru-paru akibat infeksi virus atau bakteri. Kondisi peradangan membuat paru-paru terisi oleh cairan maupun pus (dahak purulen). Karena alasan ini, pneumonia disebut juga sebagai penyakit paru-paru basah. 

Kondisi ini paling rentan menimpa bayi yang sistem kekebalan tubuhnya masih dalam proses perkembangan. Pneumonia pada bayi menimbulkan gejala yang tidak jauh berbeda dengan orang dewasa. Salah satunya batuk terus menerus.

Mengawasi pertumbuhan bayi usia 6-24 tahun, menjadi salah satu cara untuk memperkuat sinergi dan koordinasi dalam membuat angka prevalensi stunting di tahun 2023 turun, setidaknya menjadi 17 persen.

“Kalau sudah stunting, harus segera dikirim ke rumah sakit. Akan ada tata laksananya, sesuai tahapannya, harus dijalani dan diukur dengan antropometri. Jangan biarkan anak sampai terkena stunting. Begitu berat badan tidak naik itu sudah harus diintervensi,” kata Budi. 

Menurut Budi, pada 2023 pemerintah fokus mengejar prevalensi stunting turun ke angka 17 persen agar terjadi percepatan penurunan stunting yang sesuai target tahun 2024.

Pemerintah menyadari stunting menjadi masalah yang kompleks, karena dipengaruhi oleh faktor sensitif yakni hal-hal di luar bidang kesehatan, seperti lingkungan dan pola asuh. Sementara faktor spesifik yakni hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan seperti kurang gizi dan anemia.

Oleh karenanya sesuai dengan penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengatakan 70 persen penyebab stunting bisa diatasi dengan intervensi sensitif. Dalam menuntaskan stunting melalui intervensi spesifik, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mempunyai 11 program yang fokus pada dua fase dengan determinan terhadap stunting paling tinggi yakni pada masa ibu hamil dan bayi usia 6-24 bulan.

Budi menjelaskan salah satu program merupakan pemberian pendidikan, edukasi, dan promosi kesehatan berbagai hal terkait stunting. Sementara program lain yang disebutkan di antaranya ketika memasuki fase sebelum bayi lahir atau ketika ibu hamil, pihaknya memberikan intervensi kepada remaja putri yang duduk di kelas 7 dan 10 untuk diberikan Tablet Tambah Darah (TTD) guna mencegah terjadinya anemia sejak muda.

Sambil membagikan TTD, puskesmas diminta dapat rutin mengukur kadar hemoglobin (Hb) dalam darah remaja putri dalam Program Aksi Bergizi, supaya mendapat data konkret terkait remaja yang anemia.

Kemudian pada ibu hamil, Budi memastikan intervensi yang diberikan berupa pemberian TTD dan pemberian asupan gizi yang cukup, terutama protein hewani. Untuk upaya pengukuran pada ibu hamil, Kemenkes mengubah kebijakan agar pemeriksaan kehamilan melalui Antenatal Care (ANC) dilakukan sebanyak enam kali dan dua kali dengan USG agar dapat memantau janin tumbuh normal atau tidak.

BacaOrang Tua Jangan Lengah, Awasi Ketat Pertumbuhan Anak Hingga Usia 2 Tahun

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."