Jangan Remehkan Komorbid, Lakukan Pemeriksaan Kesehatan Rutin

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
ilustrasi konsultasi dokter (pixabay.com)

ilustrasi konsultasi dokter (pixabay.com)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Pasien dengan komorbid mendapat banyak perhatian selama pandemi Covid-19 terjadi. Pada 2020, pasien dengan komorbid alias mereka yang memiliki komorbid atau penyakit bawaan, banyak menjadi korban. Saat itu barulah banyak yang tersadar untuk menjaga kesehatan karena takut bila terkena virus akan mengalami sakit parah atau malah meninggal dunia. Semakin banyak orang yang akhirnya semakin rajin melakukan olahraga, berjemur pagi, mengonsumsi vitamin, menjalankan diet sehat. Kesadaran ini tentunya sangat baik jika dijalankan setiap hari, sedangkan bagi yang sudah memiliki komorbid, menjalankan gaya hidup sehat dapat mempertahankan dan menguatkan sistem pertahanan tubuh.

Langkah awal menjalankan hidup sehat adalah melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala untuk mengetahui apakah kita memiliki penyakit bawaan atau tidak agar jika terdapat gejala dapat segera diobati, sebelum berkembang menjadi penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Penyakit komorbid merupakan penyakit penyerta lain selain penyakit utamanya, dapat bersifat akut atau kronis menahun. Adanya komorbid bisa memperparah gejala atau beratnya derajat penyakit utama. Faktor risiko, seperti usia dan jenis kelamin dapat berbeda pada setiap komorbid, sehingga tidak bisa disamaratakan. Namun, semua penyakit komorbid berpotensi memperberat penyakit yang sedang dialami. Terutama, jika penyakit komorbid tidak terkontrol dan ada gejala. Bahkan, untuk beberapa penyakit, seperti jantung atau stroke bisa menyebabkan kematian mendadak.

Banyak orang tidak menyadari apakah dirinya memiliki penyakit penyerta, misalnya sudah terbiasa minum kopi manis setiap hari padahal sebenarnya sudah ada gangguan diabetes, merasa kaki sering nyeri kesemutan saat mengonsumsi seafood tapi tidak juga memeriksakan diri. Pada beberapa orang, bisa saja tidak merasakan sesuatu hingga penyakit sudah stadium tinggi tapi ada juga yang merasa ada bagian tubuh tidak nyaman saat mengonsumsi makanan tertentu. Rasa tidak nyaman ini bisa jadi respon tubuh terhadap suatu gejala penyakit. Saat tertular covid-19 dan didiagnosis terdapat penyakit bawaan barulah kita menyadari bahwa tubuh kita tidak dalam keadaan seratus persen sehat.

Dokter Penyakit Dalam RS Premier Jatinegara Jakarta, dr. Ario Perbowo Putra, Sp. PD, FINASIM menyarankan agar masyarakat tidak mengabaikan komorbid terutama saat pandemi. "Jika seseorang sudah tahu riwayat penyakit terdahulu dan ada obat yang biasa dikonsumsi rutin maka sudah pasti termasuk orang dengan komorbid. Sebaiknya, selalu informasikan perihal ini kepada dokter yang merawat," kata Ario dalam keterangan pers Sequis yang diterima Cantika pada 7 April 2022.

Bagi mereka yang belum mengetahui apakah memiliki komorbid atau tidak, dr.Ario menyarankan agar berkonsultasi dengan dokter. "Diagnosis akan dilakukan dokter melalui anamnesis tanda serta gejala sebelumnya, pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan darah, pemeriksaan rekam jantung/elektrokardiogram(EKG), dapat juga melalui pemeriksaan pencitraan, seperti rontgen, ultrasonography, Computerized Tomography (CT) scan, atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)," kata dr. Ario.

Jika pasien terbuka dan jujur, dokter dapat mengetahui sejauh mana kondisi komorbid pasien tersebut terkontrol karena kondisi komorbid pada setiap pasien berbeda. Ada yang kondisi komorbidnya stabil terkontrol dan ada yang kambuh. "Jika pasien komorbid terinfeksi Covid-19 maka dokter dapat mengetahui derajat berat penyakit covid-19 dan dapat melaksanakan tatalaksana secara menyeluruh. Jika komorbid terkontrol akan sama dengan pasien tanpa komorbid," kata Ario.

Baca: Pasien Covid-19 dengan Komorbid Boleh Lakukan Isolasi Mandiri, Asal...

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."