Stigma Masyarakat, Tantangan Utama Atasi Masalah Kesehatan Mental

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi Depresi (Pixabay.com)

Ilustrasi Depresi (Pixabay.com)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Audrey Maximillian Herli selaku Co-Founder & Chief Executive Officer of Riliv mengungkapkan bahwa stigma negatif masyarakat terhadap kesehatan mental masih menjadi tantangan terbesar hingga saat ini.

"Memang tantangan ya. Challenge dalam membangun layanan kesehatan mental di Indonesia memang stigma negatif tidak lepas ya. Jadi kita melihat kesadaran kesehatan mental itu sendiri masih rendah," ungkap Maxi saat diskusi daring, Jumat 17 Desember 2021.

Maxi menjelaskan, masih banyak sekali masyarakat di Indonesia yang memandang sebelah mata seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental. Kebanyakan masyarakat justru menilai mereka kurang ibadah, atau bahkan gila.

Menurut Maxi, hal ini disebabkan karena kesehatan mental berbeda dengan kesehatan fisik.

Jika penyakit fisik bisa terlihat dan dengan mudah terdeteksi, penyakit mental tidak dapat terlihat dengan kasat mata dan sulit untuk dideteksi.

"Karena penyakit mental itu tidak terlihat. Kalau fisik kan flu itu kelihatan pucat atau apa. Tapi kesehatan mental itu nggak," kata Maxi.

Lebih lanjut, Maxi memaparkan bahwa menurut data dari WHO, setiap 40 detik 1 orang meninggal akibat bunuh diri karena mengalami depresi.

Oleh sebab itu, pihaknya tetap berusaha untuk menyediakan platform layanan kesehatan mental untuk masyarakat Indonesia meskipun banyak tantangan yang dialami.

"Menurut WHO setiap 40 detik, 1 orang meninggal bunuh diri akibat depresi ya. Jadi depresi ini juga dari masalah pribadi. Dari permasalahan ini, akhirnya saya sama saudara saya kita membuat platform yang bisa membuat mereka terhubung dengan psikolog profesional di mana pun dan kapan pun," kata Maxi.

Baca: Menangis Tiap Malam, Bella Hadid Ungkap Masalah Kesehatan Mental

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."