Seni, Asi, dan Pandemi: Irma Hidayana & Gerak Melawan Ketidakadilan Tiada Henti

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Kinanti Munggareni

google-image
Irma Hidayana. (Foto: Dok. Pribadi | Desain: Kinanti Munggareni)

Irma Hidayana. (Foto: Dok. Pribadi | Desain: Kinanti Munggareni)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Suara Irma Hidayana, tak asing bagi mereka yang rajin hadir di panggung-panggung indie atau acara-acara yang menyoal isu antikorupsi. Nyanyiannya bersanding dengan nada lirih khas musik Efek Rumah Kaca atau Pandai Besi. Beberapa kali ia juga hadir dalam nama Indie Art Wedding, duetnya bersama sang suami, Cholil Mahmud.

Suara Irma memang bukan yang terbaik di antara penyanyi lain di genre sama. Tapi yang jelas ia berhasil menggugah para pendengarnya lewat lirik-lirik yang janggal. Suara yang sama menggugah dari perempuan ini kian lantang terdengar di masa pagebluk. Di tengah ketidakpastian informasi dalam masa pandemi, ia bersama kawan-kawannya, menginisiasi koalisi Lapor COVID-19.

Koalisi ini dibentuk atas perhatian terhadap hak asasi warga dan masalah kesehatan masyarakat terkait pandemi COVID-19. Berdiri di awal Maret 2020 ketika kasus COVID-19 merebak dan ditemukan secara resmi di Indonesia, koalisi ini melibatkan partisipasi warga dalam pencatatan angka COVID-19 dan pelaporan isu seputar COVID-19 di sekitarnya. Data yang terkumpul di kanal ini nantinya menjadi masukkan bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan dan langkah penanganan COVID-19.

“Saya melihat waktu awal-awal [pandemi] ketika pemerintah justru tidak 'gercep' untuk mencegah masuknya COVID ke Indonesia, ini adalah jendela untuk masuk ke dalam problem-problem lainnya, seperti problem integritas, akuntabilitas, transparansi pengendalian pandemi, termasuk transparansi data dan korupsi.”

Irma tahu, ada konsekuensi dari cara penanganan pandemi yang berantakan. Sementara itu, faktanya, tak banyak praktisi atau ilmuwan yang bisa membagi perhatian pada isu kesehatan, sekaligus isu kemanusiaan.

“Jika kita loose dalam mencegah masuknya virus itu, maka konsekuensi korupsi dan lain sebagainya mengganggu good governance dalam pengendalian pandemi akan terbuka. Tidak banyak praktisi dan ilmuwan yang fokus dalam kesehatan masyarakat yang sudah terbiasa atau yang juga memberikan perhatian ke isu-isu demokrasi, isu-isu hak asasi manusia.”

Irma pun mengambil jalan tengah. Latar belakang keilmuan Kesehatan Masyarakat yang ia tempuh di Monclair State University jadi bekal untuk menginisiasi sebuah gerakan. Pengetahuan dan keberanian yang ia miliki dianggapnya sebagai privilege.

“Kalau menurut saya, saya punya keberuntungan untuk connecting the door. Menghubungkan para ilmuwan.” Ia lantas membentangkan kembali kerisauannya terkait penanganan pandemi dan menyebut bahwa “kita dibenturkan dengan problem akut selama ini yang dihadapi oleh pemerintah yaitu membuka peluang korupsi.”

Ia melanjutkan, “[Pemerintah] menggunakan kebijakan pengendalian pandemi yang justru bertolak belakang dari prinsip-prinsip cara pengendalian dan pencegahan pandemi itu sendiri.”

Gerakan Antikorupsi, Inisiasi Literasi ASI dan Gizi, hingga Berjuang di Masa Pandemi

Sebelum dikenal aktif di Lapor COVID-19, di waktu yang tak begitu jauh Irma telah hadir sebagai penggerak literasi soal isu gizi bayi dan anak. Bagi Irma apapun topiknya, alasan dan permasalahan utama yang dihadapi sama.

“Kita harus membuat orang paham bahwa ini tuh masalah politik-ekonomi kesehatan masyarakat. Ini masalah kemungkinan potensi pelanggaran hak asasi manusia. Yang saya kerjakan selama ini sebenarnya berkutat di situ.”

Langkah Irma memang punya benang merah di sana. Hampir dua dekade lalu, ia memulainya kala bergabung dengan Indonesian Corruption Watch. Dari pengalaman itu dan kerja-kerja yang ia lakukan setelahnya, Irma punya satu kesimpulan. Ia menyebut bahwa sampai detik ini masyarakat selalu jadi korban ketidaktahuan tentang informasi dan hak yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah dan negara.

Irma, dalam kesempatan sama, juga mengkritik industri yang mempengaruhi kesehatan dan kebijakan kesehatan publik. Baginya selalu ada kelompok tertentu yang diuntungkan, dan itu bukanlah publik secara luas.

"Kenapa saya aktif di ASI? Kenapa saya aktif meneliti soal keberadaan industri, pengaruh industri dalam kesehatan publik? Itu karena ada upaya-upaya mengelabui publik dan juga mengelabui pembuat kebijakan publik untuk menguntungkan kelompok tertentu."

Bagi Irma, momen pandemi jadi waktu yang tepat untuk para ilmuwan dan ahli di bidang kesehatan melihat masalah dengan lebih kompleks dan luas dari sebelumnya.

“Saya merasa orang, tuh, harus tahu dan para scientist yang ada pada bidang kesehatan dan juga kesehatan masyarakat yang selama ini sibuk di menara gading, harus turun ke bumi dan tahu bahwa tantangannya itu bukan semata-mata tantangan ilmu. Tetapi ternyata tantangannya lebih besar dari itu, yaitu political commitment dari pembuat kebijakan. Ini yang harus kita sadarkan. Realitasnya di negeri kita ini, sebesar ini, loh.”

Kekuatan Irma Datang dari Rasa Sakit Atas Ketidakadilan

Upaya memperjuangkan hak-hak masyarakat di tengah pembatasan sosial dan mobilitas saat pandemi masih berlangsung bukanlah hal yang mudah. Belum lagi kepedihan yang ikut ia rasakan kala kerap kali berinteraksi dengan kelompok rentan akibat pandemi. Tak jarang, Irma khawatir kesehatan mentalnya bisa terkena dampak.

“Kalau ada sesuatu yang tidak mengenakkan, ada ketidakadilan, aduh sakitnya, tuh, di sini mbak,” ujar Irma menunjuk dadanya sambil mengernyitkan dahi, tanda bahwa pengalaman yang ia hadapi memang benar mengganggu. “Sampai nggak bisa tidur dan lain sebagainya.”

Kekesalan atas fakta yang terjadi di masyarakat, terutama mereka yang tak punya privilege lebih atau ‘wong cilik’ dalam bahasa Irma, ia jadikan tali pecut yang bikin bisa terus bergerak.

“Justru setelah stres, setelah kesal, malah semangat. Oke kita harus bantu, deh. Apa yang bisa kita bantu? Hanya membantu sedikit saja, meringankan, melonggarkan pikiran mereka untuk dapat rumah sakit aja, yang kita lakukan sudah luar biasa berarti loh. Saya merasa begitu, supaya diri juga semangat.”

Pancaran semangat Kartini Hadir dari Orang-orang Sederhana

Di momen perayaan Hari Kartini, Irma menyempatkan diri untuk berbagi kesannya terhadap citra Kartini yang tercermin lewat banyak wajah. Buatnya, pancaran semangat Kartini begitu kuat terasa tak lain dan tak bukan dari mereka yang berjuang untuk melawan ketidakadilan. Mereka di antaranya adalah ibu-ibu Kendeng, Maria Catarina Sumarsih, Suciwati, Prof. Herawati Soedoyo, dan dr. Utami Roesli.

“Nilai-nilai bagaimana mereka, berjuang untuk sesama, dan saling memberdayakan satu sama lain, itu ada di mereka,” ujar Irma.

Dalam pandangan Irma, tak hanya memperjuangakan hak-hak yang telah dilanggar, sosok-sosok itu memukaunya karena sikap mereka yang tetap rendah hati meski telah melakukan hal-hal besar. Bahkan ketika beberapa di antara mereka punya kisah penuh penderitaan yang luar biasa.

“Itu panutan saya dan itu membuat saya seperti ini juga. Ketika mereka menghargai sesama dan memberdayakan sesama. Apa yang mereka lakukan itu, membuat saya turut termotivasi untuk melakukan sebisa saya, supaya saya bisa menjadi seperti mereka,” jelas Irma dengan antusias.

Semangat-semangat ini lantas disimpulkan Irma dalam kriteria perempuan ideal yang diperlukan dalam konteks hari ini.

“Menjadi seorang perempuan harus berani, harus peduli dengan sesama, dan satu sama lain harus memperkuat.” Irma menambahkan meski saat ini perempuan telah berada di kondisi yang jauh lebih baik, sisi sistem patriarki yang masih merugikan perempuan harus terus dilawan.

Ia lantas menyatakan bahwa para perempuan harus menunjukkan potensi besar yang dimiliki. “Perempuan itu memiliki kemampuan berpikir, memiliki potensi berkembang, memiliki kecerdasan yang sama jika memiliki dan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki,” katanya.

Lantas di mana posisi seni, khususnya musik, dalam hidup Irma seperti yang tercermin pada awal artikel ini? Saat ditanyakan soal ini, Irma menjelaskan bahwa faset-faset hidupnya ini tak bisa dilihat secara terpisah.

“Saya lebih dulu terlibat di social movement. Mungkin karena saya dibesarkan di kampus dalam rezim otoriter, dan memilih untuk melawan. Jadi dulu waktu mahasiswa, saya mulai ikut aksi demonstrasi melawan rezim Soeharto. Kebetulan teman-teman saya kebanyakan dari kalangan seniman, sastrawan, jagi nggak bisa dipisahkan antara seni dan social movement,” ujar Irma Hidayana menutup perbincangan.

Baca juga: Frilasita Aisyah Yudhaputri, Peneliti Covid-19 yang Berkejaran dengan Waktu

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."