Frilasita Aisyah Yudhaputri, Peneliti Covid-19 yang Berkejaran dengan Waktu

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Frilasita A. Yudhaputri. Dok Pribadi

Frilasita A. Yudhaputri. Dok Pribadi

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Peneliti Frilasita Aisyah Yudhaputri masih ingat dengan jelas bagaimana berita berjudul 'Misteri Klaster Pneumonia di Wuhan' pada Desember 2019 menggemparkan ia dan timnya. Semua tim peneliti diminta untuk memperbaharui berita kasus pneumonia di Cina itu setiap beberapa jam sekali. "Kami sudah anggap itu bukan berita bagus. Kami diminta alert dan terus mengawasi perkembangannya," kata Sisi, sapaan Frilasita saat dihubungi Cantika pada 10 April 2021.

Saat ini, Sisi menjabat sebagai Koordinator Proyek di Emerging Virus Research Unit (EVRU) Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Indonesia. Ia mengkoordinasi timnya untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi genom lengkap (WGS) SARS-CoV-2 dari spesimen klinis Covid-19 seluruh Indonesia. Sisi, kami anggap salah satu sosok perempuan yang ikut berjuang di masa Covid-19. Karena jasanya itu, ia pun menjadi satu dari 6 tokoh yang kami pilih dalam Edisi Khusus Kartini Cantika.Com bertema Semangat Kartini Kala Pandemi.

Kewaspadaan dan perhatian Sisi dan tim diberikan ketika membaca berita dari Cina itu. Alasannya, ini klaster pneumonia. Artinya penyebaran virus terjadi langsung dari droplet yang berasal dari saluran pernafasan manusia. Biasanya penyebaran kasus pneumonia ini luar biasa cepat, karena penyebarannya tidak memerlukan perantara lain. "Kalau demam berdarah, perantaranya kan nyamuk. Dan untuk mengatasinya kita bisa mengontrol nyamuknya. Kalau ini langsung manusia ke manusia," kata Sisi.

Koordinator Proyek di Emerging Virus Research Unit (EVRU) Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Indonesia Frilasita Aisyah Yudhaputri/Istimewa

Selain itu, jarak geografis Cina dengan Indonesia pun tidak jauh. Waktu penemuan virus itu pun mendekati waktu Imlek, artinya akan ada banyak orang yang bepergian dan dikhawatirkan penyebaran virus itu pun akan semakin masif.

Pada awal 2020, Sisi yang sedang hamil, harus dinas ke Singapura. Pada saat itu pula berita menyatakan bahwa kasus itu sudah sampai di Singapura, artinya virus itu semakin dekat dengan tanah air.

Tim peneliti Indonesia pun semakin gencar untuk meneliti tentang klaster itu. Salah satu tantangan besar yang dialami Sisi dan tim adalah dalam membuat alat tes untuk mendeteksi keberadaan virus itu di saluran pernafasan manusia. Tentu saja, metode screening PCR, swab antigen atau rapid test saat itu belum mudah didapat masyarakat, belum lagi cairan kimia untuk mengenali adanya virus itu pun belum pernah ada di Indonesia. "Kami memiliki mesin dan alat swabnya, tapi kami tidak memiliki cairan kimia yang mendeteksi virus itu," kata Sisi.

Membeli bahan kimia untuk meracik cairan itu pun tidak mudah. Vendor yang menyediakan berbagai bahan untuk mendeteksi virus itu sempat kehabisan barang, maklum semua negara membutuhkan cairan itu juga mendeteksi virus di negara mereka. Tidak jarang tim Sisi meminjam beberapa bahan penelitian untuk mendeteksi Covid-19 dari para peneliti berbagai negara. "Kami kejar-kejaran dengan waktu. Pasien sudah mau datang, sudah ada suspect, tapi mau mengenali dengan apa? Nanti suspect itu bisa lewat saja dan akhirnya semakin menyebar," kata Sisi.

Lega rasanya, ketika cairan kimia itu sudah ada, dan Indonesia sudah mendeteksi orang-orang yang terpapar virus mematikan itu. Artinya pemerintah bisa melakukan pelacakan terhadap sumber penyebaran virus. Tapi ternyata kepadatan pekerjaan bagi Sisi dan timnya semakin bertambah. "Kami justru lembur setelahnya (setelah alat deteksi itu berhasil kami buat). Semakin banyak yang diharapkan dari kami," kata Sisi.

Bila dibandingkan dengan saat ini, Indonesia sudah ada 600an laboratorium di seluruh negeri yang bisa mendeteksi Covid-19. Pada awal pandemi Covid-19, hanya kurang dari 10 laboratorium saja yang bisa melakukan deteksi itu, salah satunya Eijkman. "Alhasil, (selain meneliti tentang virus itu) kami juga bantu mengajarkan ke petugas kesehatan, memberikan pelatihan, dan menyiapkan metode deteksi virus," kata Sisi. Kegiatan tambahan ini belum termasuk dengan pembagian ratus ribuan tabung pendeteksi Covid-19 ke seluruh negeri.

Sempat pula, Sisi dan tim peneliti itu menerima 700an sampel Covid-19 suspect yang mengalami gejala mirip virus itu dalam sehari. Padahal sebenarnya timnya bertugas untuk meneliti genetik virus itu, bukan untuk memberikan pelayanan deteksi dalam jumlah besar seperti di rumah sakit. Dengan begitu sibuknya Sisi dan para peneliti Eijkman lain, hal yang sangat biasa ketika mereka harus datang ke kantor 7 hari dalam sepekan.

Kesibukan yang luar biasa pada awal pandemi itu belum ditambah dengan kondisi Sisi yang sedang mengandung anak kedua. Ia tetap ke kantor dengan diantar jemput suami. Ia terus makan makanan bergizi, dan minum vitamin secara teratur demi terhindar dari paparan virus corona. Sebagai tokoh yang mendalami virus itu bahkan ikut mengembangbiakkan virus itu untuk penelitian, Sisi tahu betul masih banyak orang yang belum tahu soal penanganan pandemi. Sistem protokol penanganan pasien Covid-19 dan non Covid-19 pun belum terbentuk di rumah sakit. Alhasil ia pun sengaja tidak kontrol kandungannya selama 5 bulan terakhir dari mulai pertengahan Januari hingga Mei 2020.

Walau dijadwalkan lahiran pada akhir Juni 2020, Sisi sudah mempersiapkan diri bagaimana prosedur yang harus dijalaninya saat melahirkan dan terkena Covid-19 sejak berbulan-bulan sebelumnya. Bagaimana prosedur isolasi mandiri saat melahirkan, bagaimana pula protokol yang harus dijalani bila sang bayi mengalami ikut positif Covid-19.

Tentu saja suami dan keluarganya sangat khawatir dengan kondisi Sisi yang berbadan dua. Kekhawatiran pun meningkat ketika Sisi justru menggeluti virus yang masyarakat dunia ingin hindari. Tapi Sisi terus maju. "Saya yang paham tubuh saya, dengan semua beban dan harapan pada kami yang menjadi bagian penanganan COVID-19. Itu semangat saya," kata lulusan S2 Biomedical Science di Monash University, Melbourne, Australia ini.

Perhatian masyarakat pada Juni-Juli 2020 masih sangat fokus pada penanganan virus itu. Pada waktu itu pula Sisi harus melahirkan. Sisi bercerita, saking takutnya ada masalah di lapangan, atau data miliknya diperlukan, Sisi merasa harus selalu dekat dengan komputer dan telepon genggam saat di rumah sakit ketika bersalin. "Selama 3 bulan istirahat melahirkan, sepertinya cuma libur seminggu. Karena sisanya tetap Work From Home. Masalahnya, teman-teman di Eijkman juga berjuang, tetap maju ya saya nggak bisa diam saja," kata Sisi yang tidak jarang mengisi webinar di kala sedang libur bersalin itu.

Sisi mengakui ia sempat merasa repot ketika harus menyusui, bekerja dari rumah. Karena di samping harus menjadi peserta, tidak jarang Sisi pun menjadi pembicara webinar. Belum lagi banyak sekali rapat zoom yang harus dijalaninya. "Sering saya minta rapat zoomnya mulai jam 20.00 atau jam 21.00 karena sudah tidak ada waktu lagi," kata Sisi yang juga sedang rapat Zoom ketika berdiskusi dengan Cantika.

Frilasita A. Yudhaputri. Dok Pri

Beruntung keluarga dan suaminya mendukung Sisi dengan berbagai beban kerjanya sebagai peneliti. Di saat Sisi sibuk mengurus dan meneliti virus Covid-19 atau mengikuti rapat yang mengharuskan Sisi presentasi, sang suami mau menjadi bapak rumah tangga sehingga bisa semakin dengan anak-anak mereka.

Tantangan di masa pandemi belum berakhir. Di saat ia meneliti soal virus corona, tidak disangka anak pertama Sisi juga sempat terinfeksi virus itu pada awal April 2021. Walaupun Sisi dan suami rutin tes swab dan hasilnya selalu negatif, ia tidak menyangka anak pertamanya juga sempat terpapar.

Sang anak dinyatakan positif saat melakukan tes swab antigen, namun negatif saat hasil tes PCR. Kondisi itu membuat anaknya tetap ditempatkan di lantai isolasi mandiri khusus penanganan Covid-19 oleh pihak rumah sakit. Tentu saja hal itu membuat Sisi semakin khawatir, takutnya saat pulang anaknya justru benar-benar bisa terpapar virus dari Wuhan itu. "Saya sempat deg-degan, tapi saat anak membaik dan bisa isolasi mandiri di rumah, saya bawa dia pulang. Takutnya tereksposure," kata Sisi yang terus membuat anak tetap terhindrasi.

Tingginya tekanan dari kantor tidak pernah membuat Sisi menyesal memilih menjadi seorang peneliti. Sisi memang sangat menyukai ilmu soal kesehatan. Ia sempat bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Namun ia mundur setelah merasa tidak kuat harus berurusan dengan mayat dan darah. Tapi nasib membawanya tetap berada di dunia kesehatan. Ia meneliti berbagai virus dan parasit serta sumber penyakit dunia tropis yang sangat berhubungan dengan dunia kesehatan manusia. "Ada kata-kata ayah saya yang mengetuk hati saya. 'Hidup Cuma sekali, kamu sukanya apa, itu saja yang kamu lakukan'. I found what I want," kata Sisi yang juga suka ilmu komunikasi.

Saat lulus SMA, Sisi pun sempat ingin belajar komunikasi, karena bisa beberapa bahasa asing. Kesukaannya pada ilmu komunikasi ini juga berhasil diterapkannya saat menjadi peneliti. Sisi sering membantu tim humas lembaganya sebagai jembatan komunikasi antara peneliti dengan non peneliti. "Omongan sesama peneliti itu saja sering tidak nyambung. Apalagi bicara dengan non peneliti," katanya. Ia merasa penting untuk memperbaiki komunikasi di dunia peneliti agar hasil penelitian bisa dipahami dan diterapkan oleh masyarakat yang lebih luas.

Ilustrasi virus Corona atau Covid-19. Shutterstock

Walau masih menjalani rapat hingga malam hari, saat ini Sisi sudah mulai bisa meluangkan sedikit waktunya untuk keluarga. Anaknya yang lahir pada masa pandemi pun sudah berusia 8 bulan dan dalam keadaan sehat walafiat. Sisi juga sudah mulai bisa kembali menekuni kembali berbagai proyek penelitiannya yang tertunda karena adanya pandemi virus Covid-19.

Ia belajar bahwa besarnya tantangan yang dihadapi seseorang justru bisa membuatnya semakin kuat. Stres boleh saja, namun baginya memikirkan dampak yang dihasilkannya akan membuatnya lebih baik. "Tidak terasa pandemi ini sudah setahun lebih terjadi. Dengan segala beban, saya berhasil survive," katanya.

Kepada para perempuan dan Kartini masa kini, ia mengingatkan untuk selalu melakukan yang terbaik dalam berbagai kesempatan. Walau tantangan yang dihadapi sangat berat, ia yakin setiap orang sanggup melewatinya walau terkadang harus 'berpegangan' dan meminta bantuan kepada orang-orang sekitar. "Setiap saya merasa berat dan ada masalah, dan saya sudah tidak kuat lagi saya selalu meyakini 'nanti akan berlalu dan saat kita melihat ke belakang, kita akan berpikir I am a lot stronger now'," kata Frilasita Aisyah Yudhaputri.

Baca: Cara Wulan Tilaar Memimpin Martha Tilaar Spa Saat Pandemi: Be More Compassionate

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."