Kartini, 25 Tahun untuk Selamanya

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Surat dan Pemikiran Kartini

Surat dan Pemikiran Kartini

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaHari Kartini yang diperingati setiap 21 April menjadi momentum untuk mengenang dan menggelorakan kebangkitan kaum perempuan. Kartini, perempuan yang lahir pada 21 April 1879 ini hanya menjalani hidup selama 25 tahun. Dia wafat pada 17 September 1904. Empat hari setelah melahirkan.

Dua puluh lima tahun hidup Kartini begitu berarti. Kartini menjalani hidup yang terbilang singkat, namun memberikan jejak panjang dalam sejarah perjuangan perempuan. Tanpa mengecilkan andil pahlawan perempuan lain, seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Martha Christina Tiahahu, Nyi Ageng Serang, dan banyak lagi. Gagasan Kartini turut mewarnai dan menginspirasi.

Pada masa itu, nama Kartini populer dari Jepara hingga Batavia, dan di lingkungan pelajar Stovia di Belanda. Keberanian menuangkan gagasan dan berkorespondensi lewat surat sampai ke Belanda membuat cakrawala pengetahuan dan sudut pandangnya terbuka.

Kartini bisa dibilang beruntung karena ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang menjabat Bupati Jepara, terbilang progresif pada zamannya. Dia adalah bupati pertama di Jawa Tengah yang memberikan pendidikan Barat kepada anak-anaknya, tak peduli laki-laki atau perempuan.

Termasuk Kartini. Dia mengenyam pendidikan di Europese Lagere School atau ELS, sekolah gubernemen kelas satu yang memakai bahasa pengantar bahasa Belanda. Kartini masuk ELS pada 1885 dan memulai masa pendidikan yang paling indah.

Untuk diketahui, saat itu gadis pribumi yang mengenyam pendidikan di sekolah Belanda amat langka. Menurut catatan, pada 1898 hanya sebelas gadis Indonesia yang bersekolah di ELS di Pulau Jawa. Namun betapapun progresifnya Sosroningrat, dia tetap memegang teguh adat bangsawan yang kolot.

FPC. Surat Kartini. shutterstock.com

Tatkala Kartini berusia 12,5 tahun dan tamat ELS, Sosroningrat memerintahkan agar Kartini masuk pingitan. Sambil berlutut dan menangis, Kartini memohon kepada ayahnya agar diizinkan menyusul saudara-saudara lelakinya bersekolah HBS di Semarang. Tapi jawaban Sosroningrat tegas: Tidak.

"Berlalu sudah! Masa mudanya yang indah sudah berlalu! Berlalu sudah semua yang merupakan kegembiraan dalam hidup kanak-kanaknya yang muda. Ia merasa masih kanak-kanak sekali dan ia memang masih anak juga, tapi adat menggolongkannya sebagai orang dewasa," tulis Kartini menggambarkan nasibnya dalam salah satu suratnya pada Ny. Abendanon.

Dalam pingitan itulah rupanya Kartini mengasah pemikirannya yang semakin tajam. Dia bertanya, bertanya, dan bertanya terutama kepada diri sendiri dan berusaha menemukan jawabannya. Dia tidak menemukan jawaban itu pada buku-buku pelajarannya karena ia segera menemukan bahwa belajar tanpa bimbingan guru ternyata kurang berguna.

Satu hari, Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde atau KITLV meminta Bupati Sosroningrat menyumbang tulisan. Dia mengirim tulisan Kartini, yang ditulis pada 1895 dalam usia 16 tahun, yang berjudul Upacara Perkawinan Suku Koja. Karangan itu ternyata dimuat dan dari situlah nama Kartini mulai populer. Terlebih setelah tulisan-tulisannya yang lain dimuat dalam majalah-majalah.

Putri Bupati Jepara itu kian terkenal. Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadat, dan Kerajinan J.H. Abendanon dan istrinya -yang mendengar kecerdasan Kartini, datang ke Jepara. Di antara mereka terjalin persahabatan yang erat. Kemudian muncul gagasan agar Kartini dan adik-adiknya mendapatkan beasiswa ke Belanda.

Keinginan yang membuncah namun tak pernah jadi nyata. Hingga akhirnya Kartini menerima pinangan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, untuk dijadikan istri keempat. Menolak terbelenggu lagi, Kartini mengajukan syarat hingga terpenuhi keinginannya untuk mendirikan sekolah.

MAJALAH TEMPO

Baca juga:
Makna Hari Kartini Kini, Bukan Hanya Mengenai Edukasi

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."