5 Kekhawatiran Orang Tua Saat Anak Suka Main Video Game, Anak Jadi Pemarah

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Ilustrasi anak main game. Shutterstock.com

Ilustrasi anak main game. Shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Perusahaan keamanan digital, Kaspersky melakukan riset terhadap 760 orang tua di kawasan Asia Tenggra pada Mei 2020. Survei bertema 'More Connected Than Ever Before: How We Build Our Digital Comfort Zones', ini menyuguhkan apa saja yang dikhawatirkan oleh orang tua terhadap anaknya yang suka bermain video game.

Terlebih di masa pandemi Covid-19, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya, baik untuk sekolah online, menggunakan media sosial, sampai mencari hiburan berupa video game. Managing Director Kaspersky untuk wilayah Asia Pasifik, Stephan Neumeier mengatakan saat ini orang tua membesarkan anak-anak yang merupakan digital natives.

"Mereka yang terlahir dengan perangkat digital dan internet. Kesenjangan generasi ini kerap memicu miskomunikasi antra orang tua dengan anak," kata Stephen Neumeier dalam keterangan tertulis, Senin 12 Oktober 2020. "Kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang bermain game ini dapat dimengerti karena memang objektif, meski ada pula yang sedikit berlebihan."

Berikut sederet kekhawatiran orang tua terhadap anak yang suka bermain video game online:

  1. Anak menjadi pemarah


    Riset Kaspersky menunjukkan empat dari sepuluh orang tua menyatakan anak-anak mereka menjadi lebih pemarah dari biasanya setelah bermain game. "Memang ada beberapa bahaya dari bermain video game online, tapi sejumlah penelitian juga menemukan bahwa bermain game online dapat bermanfaat bagi anak-anak," kata Stephen Neumeier. "Pada dasarnya semuanya akan bermanfaat asalkan tetap menerapkan moderasi dan bimbingan."


  2. Anak akan terasing


    Orang tua khawatir anak akan merasa terasing karena lebih intens bermain di dunia maya ketimbang berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Tapi di lain pihak, menurut Stephen Neumeier, orang tua juga harus memikirkan bagaimana jika anaknya dikucilkan di sekolah karena semua temannya bermain game.


  3. Mempengaruhi kesehatan


    Banyak orang tua khawatir jika anak mereka terlalu banyak menghabiskan waktu bermain video game, maka penglihatannya bisa mengalami penurunan. Terlalu lama duduk di depan atau bermalas-malasan dengan gadget juga mengganggu perkembangan motorik anak, dan pada akhirnya berdampak negatif pada postur tubuh anak.


  4. Game online adalah pintu masuk virus


    Beberapa orang tua juga khawatir akan malware yang mungkin dipasang oleh anak mereka dan bukanlah game yang dituju. Tentu saja, bagaimanapun, keinginan seorang remaja untuk memainkan berbagai jenis video game dapat mengarah pada pengunduhan versi bajakan. Dan hal ini bisa saja berujung pada masuknya malware pada sistem di perangkat.


  5. Perilaku agresif


    Tak hanya menjadi lebih pemarah, ada pula orang tua yang khwatir putra-putrinya menjadi agresif setelah bermain video game. Permainan daring yang bermuatan adegan kekerasan, seperti peperangan, perkelahian, dan penuh zombi membuat orang tua menjadi lebih waspada.


    Stephen Neumeier mengatakan perilaku agresif seorang anak tidak didorong oleh video game yang mereka mainkan, melainkan karena alasan lebih luas. Misalkan orang tua tidak menunjukkan video game sama sekali pada anak, sementara anak akan tetap mencari tahu melalu teman-temannya. Selain itu, orang tua juga mesti memahami batasan usia pada permainan tertentu.


Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah melarang anak bermain video game atau permainan online, tapi menjaga mereka tetap aman. Enam poin berikut akan membantu orang tua dalam memahami keinginan anak sekaligus mencegah mereka kecanduan game online:

  • Komunikasi

  • Perhatikan batasan usia pada game

  • Batasi waktu bermain

  • Perlindungan terhadap kode berbahaya

  • Pengaturan yang membatasi pembelian aplikasi

  • Mendorong anak punya hobi di dunia nyata
Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."