Cegah Anak Kecanduan Game, Psikolog Ungkap Batasan Waktu dan Jenis Game

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi anak main game. Shutterstock.com

Ilustrasi anak main game. Shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Sejumlah orang tua punya kekhawatiran anak-anak mereka akan kecanduan jika diizinkan bermain game. Sebab anak kecanduan game bisa berdampak pada psikisnya seperti cemas, mudah tersinggung hingga konsentrasi menurun. Tapi kecanduan tersebut bisa dicegah dari durasi permainan hingga aktivitas fisik yang menyenangkan.

Menurut psikolog dan tech enthusiast Olaffiqih Wibowo, hal yang membuat kecanduan justru lebih ke aspek sosial, terlebih di masa anak-anak belajar di rumah sehingga banyak anak yang akhirnya memilih main game.

"Terdapat hal yang tidak bisa didapatkan anak saat mereka di dunia nyata, katakanlah di sekolah mereka. Saat bermain game, mereka jadi anonim, jadi bisa lebih ekspresif. Misalkan di dunia nyata mereka sering di-bully, tapi di dunia game justru tidak," tutur Olaff dalam Live Facebook Deep Talk with Lya pada Sabtu, 22 Agustus 2020.

Menurut Olaff, bermain game sebenarnya ada proses belajar karena ada rules atau aturan. Hal yang ada di dalam game tidak semua diterapkan di dunia nyata, misalnya  anak termotivasi mencoba hal-hal baru misalnya bahasa Inggris.

"Terlebih didukung oleh tampilan visual menarik, melalui game anak juga bisa berinteraksi satu sama lain. Jadi kalau dibilang orang yang main game tidak tahu aturan, itu tidak tepat. Sebaliknya, dia tahu sekali aturan sebab di game pun ada peraturan," jelasnya.

Untuk durasi anak bermain game, Olaff menyarankan selama 45 menit - 3 jam agar tidak membebani otak untuk fokus pada suatu hal yang sama. Tapi, agar tidak addict atau kecanduan, anak juga harus melakukan aktivitas bersama di luar main game seperti ngobrol, bercerita aktivitas sehari-hari, makan bersama.

"Adiksi terjadi karena selama proses seorang individu melakukan 'sesuatu' terjadi kondisi yang bisa memicu peningkatan hormon endorphin, dopamine, oxytocin, atau serotonin. Nah, jika seseorang terbiasa bermain game untuk mendapatkan salah satu di antaranya, jangan heran kalo orang tersebut akan mengalami adiksi nge-game untuk seeking sensasi dari hormon yang dibutuhkan oleh tubuhnya," tukas Olaff.

Oleh sebab itu, saran Olaff kembali pada kategori atau jenis game karena setiap game memiliki aktivitas yang berbeda satu sama lainnya. Ada permainan yang bisa membantu kemampuan koordinasi interpersonal, melatih wawasan pengetahuan umum hingga permainan bercocok tanam. Jadi setiap game memiliki nilai yang berbeda sesuai dengan konten dan aktivitas yang ditawarkan masing-masing.

Jika anak dibolehkan main game, maka penting bagi orang tua untuk ikut bermain bersama atau minimal menemani anak bermain. Jangan sampai melarang anak pegang gawai untuk main game, tapi orang tua bebas mengakses tontonan di YouTube, misalnya.

"Sekali lagi karena apa yang dilakukan anak sebenarnya ada (peran) di orang tua," pungkasnya.

EKA WAHYU PRAMITA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."