Psikolog: Anak Tertawa Belum Tentu Dia Bahagia

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Ilustrasi anak bermain sendiri. Pexels.com

Ilustrasi anak bermain sendiri. Pexels.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Wabah corona membuat anak-anak terpaksa belajar di rumah. Begitu juga orang tua yang mesti bekerja di rumah. Kondisi ini membuat interaksi antara orang tua dan anak kian intens.

Waktu yang biasanya habis di perjalanan dari kantor ke rumah bisa dihabiskan untuk bercengkrama bersama anak. Bercanda, tertawa bersama, dan saling berbagi cerita tentu menjadi momentum yang membahagiakan.

Tapi tahukah orang tua, ketika anak tertawa, itu bukan saat dia sedang merasa bahagia. Kok bisa?

Psikolog anak Ayoe P. Sutomo dari Tiga Generasi melakukan survei yang melibatkan lebih dari 1.400 responden orang tua yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Hasilnya menunjukkan sebanyak 93 persen responden belum memprioritaskan kebahagiaan untuk mendukung tumbuh kembang si Kecil.

"Survei menunjukkan 75 persen kebahagiaan itu tercermin dari senyuman. Dan 66 persen sumber kebahagiaan anak adalah orang tuanya," kata Ayoe P. Sutomo dalam bincang-bincang online merayakan Hari Kebahagiaan Internasional pada Kamis 19 Maret 2020. Orang tua mesti memperhatikan ciri apakah anak-anak sudah bahagia. Sebab tanda anak bahagia bukan tersenyum dan tertawa yang hanya dilihat sekilas.

Ilustrasi anak bermain saat banjir. TEMPO/Ahmad Tri Hawaari

Ciri anak bahagia, dia melanjutkan, bisa dilihat dari ekspresi dan bahasa tubuh yang positif, tumbuh kembang baik, banyak teman, aktif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan pandai mengungkapkan perasaan. Tentu saja perlu dukungan dari orang tua agar anak-anak merasa bahagia.

Caranya, orang tua hadir lebih sering dalan kehidupan anak, tanpa gadget, tanpa pekerjaan, dan murni meningkatkan kualitas hubungan. "Berikan waktu bermain dengan anak, ajak anak mengelola emosi, dan memberikan nutrisi yang baik," ucap dia.

Banyak manfaat yang bisa dipetik jika anak merasa bahagia. Saat dewasa kelak, anak tersebut memiliki kemampuan bersosialisasi, kooperatif, spiritualitas, empati yang tinggi. Anak juga mampu berpikir positif, termotivasi dalam belajar, dan sehat mental. "Karena kebahagiaannya sudah dipupuk sejak kecil," ujar Ayoe.

EKA WAHYU PRAMITA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."