3 Trik Berpikir Optimis, Jangan Lupa Bersyukur Setiap Hari

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi wanita tersenyum. Unsplash.com/Lesly Juarez

Ilustrasi wanita tersenyum. Unsplash.com/Lesly Juarez

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Berpikir optimis memiliki banyak manfaat untuk jasmani dan rohani. Saat Anda berpikir optimis, bahasa tubuh dan cara bicara Anda pun semakin mengekspresikan kepercayaan diri yang tinggi. Dengan  optimis pun, pemikiran akan terus bergerak ke arah positif. Tak hanya soal pemikiran, optimis ternyata juga berdampak kepada panjangnya usia seseorang.

Melansir laman Well and Good, berdasarkan hasil penelitian Boston University School of Medicine, Massachusetts, Amerika Serikat berpikir optimis memanjangkan usia sesesorang sekitar 11 hingga 15 persen atau bisa hidup sampai usia 85 tahun atau lebih. Bila saat ini Anda sedang dilanda selubung pesimis di pikiran Anda, cobalah kikis dengan cara berikut ini.

1. Pertimbangkan apa manfaat dari berpikir negatif

“Setiap kali pasien berbicara secara negatif tentang peristiwa di masa depan atau memiliki prediksi negatif, saya selalu mendorong mereka untuk bertanya pada diri sendiri: ‘Keyakinan atau asumsi itu seberapa berguna bagi saya?’ ucap psikoterapis Jennifer Silvershein, LCSW.

Berpikir realistis lebih baik dipilih sebagai pertahanan dari hal-hal negatif yang belum pasti terjadi dan terhindar dari bibit pesimis. Contohnya, jika saat pergi wawancara kerja dan berpikir lowongan kerja itu sudah Anda dapatkan, saat mendapat email penolakan Anda akan merasakan kecewa berkali lipat. Oleh sebab itu, berpikir realistis membuat Anda lebih ‘injak bumi’ dan bersiap menghadapi apa yang di depan mata. Tidak mengawang-awang dengan hal tidak pasti dan membuat lebih sakit saat tidak terjadi.

"Sering kali pasien akan menyadari bahwa mereka memiliki asumsi negatif sebagai cara untuk menghindari perasaan kecewa," kata Silvershein. "Tetapi ketika kita menyadari bahwa kekecewaan itu hal yang wajar, biasa, dan tidak akan membunuh, kita bisa fokus meningkatkan kemampuan dan mengolah perasaan. Anda pun tidak memerlukan mekanisme perlindungan berandai-andai dengan pikiran negatif."

Ilustrasi perempuan tersenyum. fullhdpictures.com

2. Fokus pada kenyataan di depan Anda

Berpikir pesimis juga kerap didorong dari kebiasaan berandai-andai hal negatif di kepala dan terus dilakukan berulang kali. Hal ini jelas bisa menimbulkan situasi kecemasan dalam beraktivitas, bahkan bisa menurunkan performa kerja dan berpikir. Misalnya saja, Anda takut dipecat atau dimarahi setiap berangkat kerja, padahal Anda sudah menuntaskan pekerjaan tepat waktu dengan baik pula. Situasi kontras antara kehidupan nyata dengan pikiran negatif ini bisa menyuburkan sikap pesimis. Telaah mengapa Anda suka berpikir negatif dan tangkal dengan hal-hal realitas yang sudah Anda lakukan.

 “Apakah asumsi negatif atau pola pikir negatif ini menjadi kenyataan?” ujar Silvershein. "Jika jawabannya tidak, maka saya mendorong pasien saya untuk merenungkan mengapa mereka terus kembali ke pola pikir tersebut."

3. Temukan setidaknya satu hal untuk disyukuri

Bersyukur salah satu obat mujarab untuk sembuhkan rasa pesimis. Buatlah daftar bersyukur setiap hari dan jangan selalu dikaitkan dengan nominal materi. Contohnya saja, bersyukur hari ini tidak telat bangun pagi, bersyukur tidak berada di ekor antrian saat membeli kopi, mendapat antrian lift pertama saat makan siang, hingga mendapatkan makanan siang favorit Anda.

Dengan mensyukuri setiap hal dalam hidup bisa mengikis rasa pesimis yang menghantui Anda. Tidak hanya itu, bersyukur meningkatkan rasa optimis bahwa Anda mendapatkan nikmat atau anugerah yang belum tentu dirasakan orang lain.

 “Saya mendorong pasien untuk menggali “emas” di dalam hari mereka — ini menemukan beragam situasi positif selama beraktivitas harian,” tutur Silvershein. "Seringkali saat sikap atau pikiran berubah dengan memperhatikan apa yang tidak disadari selama ini, kita mulai merasa lebih positif."

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."