4 Faktor Orang Tua Ragu Berikan Imunisasi untuk Anak

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Yunia Pratiwi

google-image
Ilustrasi Imunisasi. TEMPO/Fully Syafi

Ilustrasi Imunisasi. TEMPO/Fully Syafi

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap imuninasi bukan hal yang penting. Berbagai fakta dan hoaks seputar imunisasi terus dikaji untuk dijernihkan. 

Baca juga: Enggan Imunisasi karena Khawatir KIPI, Simak Penjelasan Ahli

Sekretaris Satgas Imunisasi Pengurus Pusat IDAI, Prof. Dr. dr. Soedjatmiko, SpA(K), Msi, menegaskan, imunisasi bagaimana pun sangat bermanfaat buat anak-anak. "Buktinya, semua negara punya program imunisasi lengkap secara berkala," ujarnya di Jakarta beberapa waktu lalu. 

Menurut Soedjatmiko ada beberapa faktor yang melatarbelakangi orang tua di Indonesia yang meragukan imunisasi. "Pertama, kurangnya informasi mendetail seputar imunisasi. Kedua, tidak tahu jadwal imunisasi. Ketiga, tidak tahu bahwa imunisasi dibuat oleh para ahli di semua negara," ujarnya. 

Sebagian orang tua, kata Soedjatmiko, masih berpikir imunisasi buatan pabrik yang kurang terjaga kredibilitasnya. Terakhir dan tak kalah penting, banyak hoax antivaksin yang disebarkan orang berdasarkan data dari negara lain. Padahal, kondisi negara satu dengan negara lain berbeda. Hoaks juga dibuat dengan mengutip jurnal-jurnal lawas yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.

Salah satu hoaks yang paling mengganggu, vaksinasi menimbulkan autisme, kelumpuhan, dan mengandung racun. "Kalau benar menyebabkan autisme dan lumpuh, mengapa semua negara di dunia merekomendasikan vaksinasi? Mengapa banyak penelitian medis menyebut imunisasi bermanfaat? Hoaks itu pendapat pribadi meski yang berpendapat bergelar doktor dan psikolog. Di Inggris misalnya, seorang dokter bedah mengaku meneliti 12 anak yang telah divaksin MR (Measles dan Rubela) lalu mengidap autisme," kata Sopedjatmiko.

Soedjatmiko mengatakan bahwa dokter tersebut memalsukan data. Lima anak yang diuji memang sudah punya masalah perkembangan tubuh sejak awal sementara 7 lainnya bukan pengidap autisme. Akhirnya, hasil penelitian itu dibatalkan, dicabut publikasinya, dan belakangan terbukti ia menerima suap dari pengacara yang ingin menuntut sejumlah dokter. "Izin praktik sang dokter pun dicabut. Saya percaya di Indonesia banyak orang tua yang cerdas dalam menyikapi hoaks,” tandasnya. 

AURA

     
Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."