Atur Pola Makan Bantu Jaga Kesehatan Mental dan Hilangkan Stres

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi pekerja stres. Shutterstock

Ilustrasi pekerja stres. Shutterstock

IKLAN

GOOTO.COM, Jakarta - Kesehatan pencernaan sering kali dianggap remeh. Padalah kesehatan usus bisa mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Pola makan yang tidak teratur dan pembatasan berlebihan dapat menyebabkan gejala gastrointestinal (GI) yang tidak menyenangkan dan mengganggu nutrisi Anda.

Seperti dilansir laman Well and Good, Rabu 10 Januari 2024, ahli gizi sekaligus pakar diet terdaftar yang berbasis di Kota New York Rachel Dyckman mendukung pencernaan secara proaktif dengan menerapkan gaya hidup dan praktik diet tertentu dapat membantu menghilangkan stres saat makan dan membuat tubuh merasa dan berfungsi dalam kondisi terbaiknya.

Cara menghilangkan stres pertama yang dilakukan adalah jangan stres saat makan. Makan sambil bepergian yang biasanya dilakukan secara tergesa gesa kadang-kadang diperlukan. Namun jangan sampai kamu melakukannya setiap hari. Karena makan tergesa gesa bisa merusak pencernaan Anda, terutama jika dilakukan secara konsisten dalam waktu lama.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Integrative Medicine pada tahun 2019 menjelaskan bahwa makan saat kita sedang stres mengaktifkan sistem saraf simpatik, yang juga dikenal sebagai mode “fight-or-flight”. Hal ini menyebabkan darah dialihkan ke lengan dan kaki kita dan menjauh dari organ pencernaan kita, yang pada akhirnya mengganggu pencernaan.

Kadar hormon stres yang tinggi ini membuat kita lebih mungkin mengalami sakit perut dan peningkatan peradangan di tubuh.

Memang, hal itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Namun untuk mendorong tubuh Anda memasuki mode “istirahat dan pencernaan” parasimpatis, cobalah makan di lingkungan yang tenang dan jauh dari gangguan termasuk gawai dan TV.

Cara lainnya adalah cobalah perhatikan aroma, rasa, dan tekstur makanan Anda saat makan. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Advances in Nutrition pada tahun 2020, aspek sensorik makanan (seperti rasa, aroma, dan tekstur) membantu fase pertama pencernaan, yang disebut fase cephalic.

Ketika kita memberikan perhatian khusus untuk menggunakan semua indra kita saat makan, pelepasan enzim pencernaan, empedu, dan cairan lambung dirangsang untuk membantu memecah makanan dengan baik.

Selain itu, berlatihlah menyesuaikan isyarat rasa lapar dan kenyang pada tubuh Anda. Mengabaikan isyarat tubuh seputar kapan dan berapa banyak makan dapat menyebabkan pola makan tidak teratur, namun saluran pencernaan kita bekerja paling baik ketika kita mendengarkan tubuh kita dan makan secara teratur sepanjang hari.

Terlalu lama tidak makan dapat menyebabkan gula darah rendah, sehingga membuat kita cenderung makan melebihi rasa kenyang pada waktu makan berikutnya. Memeriksa isyarat rasa lapar dan kenyang yang Anda alami sepanjang hari dan selama makan membantu Anda untuk tahu kapan harus mulai dan berhenti makan. Memeriksa isyarat lapar ini juga bisa menghindari efek negatif dari kurang makan, serta merasa kenyang dan tidak nyaman. Dampak buruk lain dari pola makan yang tidak teratur dan mengikuti pola makan yang terlalu ketat bisa memperburuk pencernaan dan kesehatan usus kita.

Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nutrition Issues in Gastroenterology pada tahun 2022, pembatasan asupan makanan dapat menyebabkan disbiosis usus, yang pada dasarnya membuat beberapa bakteri baik usus Anda kelaparan dan menurunkan keragaman mikroba sehat yang hidup di usus secara keseluruhan.

Membatasi asupan makanan secara berlebihan juga dapat memperlambat motilitas usus, sehingga makanan membutuhkan waktu lebih lama untuk bergerak melalui saluran pencernaan, seperti yang diuraikan dalam penelitian tersebut.

Pilihan Editor: Psikolog Sarankan Atasi Stres dengan Bikin Prioritas

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."