Pekerja Kantoran Kerap Jalani Gaya Hidup Sendentary, Waspada Bahayanya

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi pekerja keras. Freepik/Arthurhidden

Ilustrasi pekerja keras. Freepik/Arthurhidden

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaGaya hidup yang semakin modern didukung berbagai kemudahan dari teknologi yang semakin maju di segala aspek kehidupan telah memberikan banyak kemudahan. Sayangnya, kecanggihan untuk memudahkan aktivitas ini mengakibatkan banyak orang cenderung menjadi mager (malas gerak) dan jarang melakukan aktivitas fisik. Gaya hidup seperti ini dikenal dengan fenomena gaya hidup sedentary (sedentary living).

Gaya hidup sedentary artinya segala jenis aktivitas di luar waktu tidur dengan karakteristik keluaran kalori sangat sedikit. Orang dengan perilaku duduk atau berbaring seperti kerja di depan komputer, membaca, bermain game, dan menonton TV selama kurang dari 2 jam masuk dalam kategori rendah. Bila kebiasaan itu dilakukan selama 2-5 jam, maka hal itu masuk dalam kategori menengah, dan orang yang jarang bergerak dalam durasi lebih dari 5 jam, masuk dalam kategori gaya hidup sedentary tinggi.

Gaya hidup sedentary kerap terjadi di kalangan pekerja kantoran yang nyaris setiap harinya lebih banyak duduk dalam ruangan selama 8 sampai 10 jam per hari dengan aktivitas yang monoton hanya di depan komputer dan sesekali meeting dalam ruangan rapat. Saat makan siang, tetap di ruangan sehingga jarang mengeluarkan banyak tenaga dan kurang berjalan kaki. Ngemil dan ngopi atau minuman kekinian sering juga jadi pelengkap saat bekerja. Kebiasaan- kebiasaan ini tentunya berisiko masuk dalam sedentary level tinggi.

Senior Manager Medical Underwriter Sequis dokter Fridolin Seto Pandu menganjurkan agar masyarakat modern mengurangi kebiasaan gaya hidup sedentary dengan melawan rasa malas untuk bergerak dan meningkatkan motivasi diri untuk lebih banyak melakukan aktivitas fisik.

“Gunakan sisa waktu makan siang Anda untuk melakukan aktivitas ringan, seperti berjalan kaki. Lalu pada saat bekerja, hindari posisi duduk yang dapat menyebabkan sakit punggung dan leher. Dalam kondisi ideal saat duduk, usahakan postur tubuh dalam keadaan tegak. Posisi kaki juga penting diperhatikan, biasakan kaki selalu ada di lantai sehingga peredaran aliran darah lebih lancar. Lakukan peregangan tubuh sekitar 5-10 menit di sela-sela waktu kerja. Sangat baik jika setidaknya 3-4 kali seminggu berolahraga selama 30-40 menit agar tubuh tetap bugar,“ kata Fridolin dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 10 Juni 2023.

Ada risiko kesehatan yang berpotensi timbul dari gaya hidup sedentary, seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung. Penyakit-penyakit ini berbahaya bagi tubuh. Selain menyarankan untuk melakukan aktivitas fisik, Fridolin juga menyarankan agar para pekerja kantoran melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala untuk mencegah penyakit sedari dini.

Pemeriksaan kesehatan yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan hipertensi untuk mencegah stroke, pemeriksaan pap smear untuk mencegah kanker serviks, dan MCU (medical check up) sebagai pemeriksaan menyeluruh untuk mengetahui potensi penyakit kritis pada tubuh. Pemeriksaan dini, merupakan langkah preventif karena ada beberapa penyakit kritis dapat dideteksi pada stadium awal. Dengan demikian masih ada kesempatan harapan hidup yang lebih tinggi.

Sebagai solusi lainnya dari potensi terjadinya penyakit kritis akibat gaya hidup sedentary agar tidak mengganggu kondisi finansial. "Sequis senantiasa mendorong masyarakat memiliki asuransi kesehatan dan asuransi penyakit kritis sebagai jaring pengaman finansial agar saat terkena risiko sakit kondisi keuangan tetap terjaga karena perusahaan asuransi yang akan menanggung biaya pengobatan sesuai manfaat polis," kata Fridolin.

Pilihan editor: Denada Ungkap Gaya Hidup Sehat jadi Kunci Mencegah Kanker

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."