Fashion Updates: Penyebab Merek Busana Ready to Wear Prancis Alami Krisis

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi wanita memilih pakaian. Freepik.com/Arthur Hidden

Ilustrasi wanita memilih pakaian. Freepik.com/Arthur Hidden

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Industri mode atau fashion global bergulat dengan krisis yang dipicu oleh inflasi tinggi dan invasi Rusia ke Ukraina. Sektor busana siap pakai atau ready to wear Prancis tidak terkecuali. Bahkan ketika label mewah Prancis seperti Chanel dan Louis Vuitton terus menghasilkan keuntungan, banyak merek busana ready to wear Prancis terpaksa memasuki proses kebangkrutan, termasuk pembuat sepatu Andre dan label fashion wanita Camaieu dan Kookai. Namun di sisi lain, ada pula yang bertahan karena memiliki pendekatan inovatif. 

"Perusahaan kami dulu sangat sukses dan kami memiliki sekitar 300 retailer (pedangang eceran) di sepuluh negara," kata direktur pemasaran Kookai, Jennifer Cohen Solal kepada DW, seperti dikutip dari Hindustan Times, Sabtu, 25 Maret 2023.

"Tetapi setelah grup Prancis Vivarte membeli perusahaan tersebut pada tahun 1996, segalanya mulai menurun, klien kami secara bertahap menarik kembali cinta mereka," katanya.

Vivarte merampingkan bisnis perusahaan ketiga negara yaitu, Prancis, Spanyol, dan Swiss. Dia berhenti berinvestasi pada 120 toko yang tersisa. Ketika orang Majus Australia membeli merek tersebut pada tahun 2017, satu rencana restrukturisasi telah diterapkan. Yang kedua menyusul pada tahun 2021.

"Kesehatan keuangan kami yang lemah adalah alasan mengapa bank kemudian menolak dua tuntutan kami untuk pinjaman darurat yang didukung pemerintah setelah dimulainya pandemi COVID-19," kenang Cohen Solal. Kookai memasuki proses kepailitan pada bulan Februari tahun 2023.

Penyebab Merek Ready to Wear Prancis Alami Krisis

1. Dihantam Berbagai Krisis

Philippe Moati, profesor ekonomi di Paris Cite University dan pendiri perusahaan riset pasar ObSoCo yang berbasis di Paris, mengatakan inflasi tinggi yang terjadi saat ini serta penurunan daya beli menjadi pukulan telak bagi rantai merek ready to wear.

"Label fashion kelas menengah Prancis telah mengalami banyak krisis," katanya kepada DW.

"Protes rompi kuning selama berbulan-bulan untuk lebih banyak keadilan sosial dari November 2018 berarti banyak pelanggan tidak ingin berbelanja dan baru-baru ini, penguncian selama berminggu-minggu karena pandemi COVID-19 memperburuk masalah arus kas rantai," katanya.

"Terlebih lagi, Prancis memiliki terlalu banyak toko pasar yang sudah terlihat jenuh, sejak 2017, penjualan diizinkan sepanjang tahun, yang meningkatkan persaingan," kata Moati.

Dia menambahkan bahwa situs web yang menjual pakaian bekas seperti platform Vinted di Lituania semakin menekan sektor ready to wear.

2. Persaingan Ketat Fast Fashion

Namun, sektor merek busana siap pakai Prancis memang memiliki masa keemasan, ungkap Gildas Minvielle, direktur Observatorium Ekonomi di sekolah mode Institut Francais de la Mode yang berbasis di Paris.

"Toko-toko ini mengungguli butik-butik kecil pada 1980-an dan memiliki periode yang sangat sukses hingga 2010, bahkan 2015," katanya kepada DW.

Namun sekarang, sektor ini juga harus menghadapi apa yang disebut dengan merek fast fashion, pakaian yang sangat murah dan terus diperbarui.

"Perusahaan China, Shein, adalah persaingan yang sangat ketat — pemain murni yang hanya hadir secara online ini menjual semua ukuran termasuk yang sangat kecil dan sangat besar," jelas Minvielle.

Sama seperti merek-merek mewah, pakaian dengan harga sangat murah tetap populer. Minivielle sangat mengkhawatirkan akan hal itu.

"Setiap pembelian memiliki dampak dan kaum muda harus menyadari betapa mencemari fast fashion," katanya.

Sektor fast fashion dapat memicu masalah lingkungan dan etika karena menggunakan sumber daya dalam jumlah besar dan berproduksi di bawah kondisi tenaga kerja yang meragukan.

Baca juga: Alasan Produk Fashion untuk Perempuan Laris Manis saat Diskon

3. Menyusutnya Pasar

Sejak awal pandemi, mencuatnya sistem bekerja dari rumah membuat orang-orang semakin tidak peduli dengan apa yang mereka kenakan, kata Michel Resseguier, seorang veteran industri mode.

“Pada 2019, orang-orang tidak lagi memakai dasi di kantor, tetapi masih mengenakan kemeja formal. Sekarang, mereka bekerja dari rumah dengan kaus,” katanya kepada DW.

Pakar tersebut mengatakan tren arah pakaian yang lebih kasual di tempat kerja dimulai sekitar tahun 2000 ketika pendiri Apple, Steve Jobs yang meninggal dikarenakan penyakit kanker pada tahun 2011, berpidato di konferensi pers dengan sepatu kets dan kaus turtleneck warna hitam.

"Merek di segmen ini perlu menerima bahwa pasar secara keseluruhan menyusut," Resseguier menggarisbawahi.

Tapi dia juga melihat hikmahnya - sesuatu yang dia coba capai dengan merek fashion wanita Paprika yang saat ini bekerja sama dengannya. "Merek bisa bertahan jika mereka kembali ke akar," katanya. "Kami memberi karyawan dan manajer lokal di lantai pabrik lebih banyak kekuatan dan tanggung jawab karena mereka memahami kebutuhan klien dan tahu cara menciptakan kembali ikatan dengan mereka."

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."