Berkaca dari Kasus Mima Shafa, Jangan Sepelekan Masalah Kesehatan Mental

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi wanita depresi. shutterstock.com

Ilustrasi wanita depresi. shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Masalah kesehatan mental bukan ditentukan oleh satu faktor saja, namun multi-faktor, yaitu dipengaruhi oleh kondisi fisik, psikologis, dan sosial. Kondisi kesehatan mental pada remaja memang tak boleh disepelekan karena bisa berdampak fatal. 

Pengalaman Davina Shava Felisa atau akrab disapa Mima Shafa, putri Mona Ratuliu dan Indra Brasco bisa menjadi pelajaran bersama bagi para orang tua dan pihak-pihak lain yang terkait.  Menurut Psikolog Anisa Cahya Ningrum, jika dihubungkan dengan kondisi fisik, berarti, mungkin saja ada masalah biologis yang perlu pemeriksaan lebih lanjut, yang mungkin terkait dengan faktor hormonal atau gangguan fungsi otak yang lainnya.

Sedangkan pengaruh kondisi psikologis dan sosial, ini terkait dengan pengalaman emosi yang pernah dirasakannya di masa lalu. Orang-orang yang menyayanginya, mungkin memberikan respon perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya. 

"Rasa kesepian biasanya muncul karena kurangnya kelekatan emosi dengan orang-orang di sekitarnya. Meski banyak orang yang mengaku menyayanginya, tapi anak merasa ada ruang kosong di batinnya yang tak terisi secara emosional, sehingga ia merasa sepi, lalu depresi," ucap Anisa saat dihubungi via pesan instan, Jumat, 5 Agustus 2022. 

Melalu curahan hatinya di laman Reels Instagram, Mima menuliskan jika memilih jurusan Psikologi dan memiliki privilese. Menurut Anisa, menjadi mahasiswa Psikologi, adalah langkah yang baik setelah dulu ia pernah mengalami depresi di fase remaja awal. Ini bisa semakin meningkatkan awareness tentang kesehatan mental, sebagai upaya pencegahan agar kondisi mentalnya terkendali dan mengetahui langkah-langkah apa yang perlu dilakukan jika terjadi kekambuhan. 

"Jadi, masalah kesehatan mental sudah muncul terlebih dahulu, sebelum dia menjadi mahasiswa Psikologi. Pilihan profesi ini akan membantu untuk perkembangannya di masa depan," ucap Anisa. 

Merujuk anggapan jika keluarga harmonis pun tetap memiliki risiko mengalami masalah kesehatan mental benar adanya, sebab keluarga yang terlihat harmonis di masyarakat, bisa jadi menimbulkan beban tersendiri bagi anggota dalam keluarga tersebut. 

"Setiap anak memiliki respon yang berbeda, sesuai ketangguhan mentalnya masing-masing. Ada anak yang merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi keluarga tersebut, atau bahkan merasa sangat bahagia menjalani kehidupannya sehari-hari.

Namun, ada juga anak yang mengalami masalah, khususnya jika anak merasa bahwa kondisi harmonis keluarga menjadi tuntutan ideal yang membebaninya. Tuntutan ideal itu bisa didapatkan dari masyarakat, keluarga, atau bahkan dari dirinya sendiri. "

"Anak merasa dituntut untuk senantiasa menjadi sempurna di mata publik, sehingga anak tidak mampu tampil apa adanya. Ketika anak menemukan adanya kekurangan pada dirinya, maka anak merasa sulit untuk menerimanya. Hal ini bisa jadi akan memengaruhi kesehatan mentalnya," tambah Psikolog di MotherHope Indonesia ini. 

Kemudian, merasa bahwa hidupnya bukan semata-mata hanya bersama keluarganya. Teman-teman, guru-guru dan orang-orang lain di sekitarnya juga memberi dampak pada kesehatan mentalnya. Jika orang-orang tersebut tidak memberi respon seperti yang diinginkannya, bisa jadi anak merasa tidak diterima, diabaikan, dan semakin merasa kesepian. Ini juga bisa menjadi awal mula dari masalah mentalnya.

"Lalu, anak merasa bahwa ada satu atau beberapa peristiwa traumatis yang pernah dialaminya di masa kecil, yang mungkin tidak disadari oleh orang tuanya. Misalnya ucapan atau perlakuan yang didapatkan dari orang-orang di sekitarnya, yang bisa membuat batinnya terluka, sehingga berdampak pada kesehatan mentalnya," pungkas Anisa. 

Baca: Sebab Remaja Berpotensi Alami Masalah Kesehatan Mental, Menurut Ahli

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."