Cegah Kekerasan Seksual Anak di Daerah Tertinggal dengan Perkuat Sektor Ini

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi anak cemas atau takut. Freepik.com/Master1305

Ilustrasi anak cemas atau takut. Freepik.com/Master1305

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Wahana Visi Indonesia (WVI), sebagai organisasi kemanusiaan Kristen yang fokus terhadap anak menegaskan bahwa peningkatan layanan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak (UPTD PPA) dan layanan kepolisian yang berperspektif anak di daerah tertinggal Indonesia perlu menjadi agenda prioritas pemerintah.

Kedua hal ini penting sebagai tindak lanjut nyata dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk memberikan perlindungan anak yang setara dan menyeluruh di seluruh daerah Indonesia.

Berdasarkan laporan WVI tahun 2021, tercatat dari sekitar 72 kasus kekerasan seksual hanya 13 kasus yang berhasil ditindaklanjuti kepolisian, dan hanya 14 korban yang mendapatkan layanan psikososial. Di mana jenis kekerasan seksual terbanyak adalah pencabulan sebanyak 20 kasus, perkawinan paksa sebanyak 15 kasus dan perkosaaan sebanyak 13 kasus.

WVI memperkirakan bahwa masih banyak lagi kasus-kasus yang terjadi, namun belum terungkap dikarenakan korban tidak berani melapor. Berdasarkan pengamatan, minimnya pelaporan oleh korban tersebut disebabkan oleh minimnya akses korban ke pelayanan publik karena lokasi yang terpencil, keterbatasan sumber daya lembaga pemerintah, dan kuatnya faktor relasi kuasa di mana pelaku umumnya adalah orang terdekat korban.

Ketua Forum Anak Gandringstar Kec. Sungai Betung, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, Jeri (17), mengatakan pelayanan publik dalam menangani anak korban kekerasan seksual yang mayoritas anak perempuan juga belum memadai. Ia mengatakan bahwa unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) kepolisian di tingkat Polsek serta Rumah Aman di tingkat kecamatan untuk melindungi penyintas saat proses hukum berlangsung belum tersedia. “Korban biasanya akan sulit terbuka kepada polisi laki-laki. Selain itu, tidak semua anggota polisi telah menerima pelatihan dalam menangani anak penyintas kasus kekerasan seksual. Jika dirujuk ke Polres di kabupaten, berarti membutuhkan biaya, tenaga, dan waktu lagi. Sementara korban masih dalam kondisi yang tidak nyaman,” kata Jeri pada pertengan Mei 2022. Jeri juga merupakan anak dampingan WVI Area Program Bengkayang.

Di sisi lain, salah satu Pengurus Forum Anak Kabupaten Sumba Timur, Roslinda (17), mengatakan bahwa upaya pencegahan juga mengalami tantangan besar. Menurut anak dampingan WVI Area Program Sumba Timur ini, sebagian besar masyarakat, termasuk anak-anak sebayanya, belum mendapatkan edukasi terkait isu kekerasan seksual. Roslinda berharap sosialiasi Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU TPKS) ini mampu menjangkau ke daerah pelosok untuk menyadarkan pelaku akan konsekuensi hukum dan mendorong anak untuk berani melapor.

“Saya juga berharap implementasi nyatanya ada dan dirasakan oleh semua anak. Bukan hanya menyadarkan masyarakat tapi bagaimana membuat perubahan, seperti menyediakan unit PPA dan anggota kepolisian yang terlatih untuk menangani penyintas dengan baik. Sehingga UU TPKS ini tidak hanya disahkan tetapi bukti nyatanya ada,” tegas Roslinda.

Berdasarkan fakta lapangan tersebut, Child Protection Team Leader WVI, Emmy Lucy Smith, mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan daerah tertinggal dengan menjamin ketersediaan layanan UPTD PPA di setiap daerah, serta mewujudkan layanan kepolisian yang berperspektif anak. Menurutnya, kedua elemen tersebut merupakan ujung tombak dalam menghadapi kasus kekerasan seksual di daerah tertinggal.

“Kami berharap pemerintah melakukan langkah konkret seperti contohnya dengan mengalokasikan anggaran yang sesuai untuk memaksimalkan upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di daerah tertinggal. Kami juga berharap keterlibatan masyarakat untuk mengawal implementasi UU TPKS ini agar setiap anak Indonesia mendapatkan hak perlindungan yang setara dan menyeluruh,” ungkap Emmy.

Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Nahar mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk terus mengupayakan layanan perlindungan anak yang memadai. Menurut laporan KPPPA, saat ini jumlah UPTD PPA di Indonesia baru sekitar 239 unit, atau sekitar 43 persen dari total 548 wilayah kabupaten/kota dan provinsi yang diwajibkan. Dengan berlakunya UU TPKS, diharapkan semua pemerintah daerah dapat terdorong untuk membentuk UPTD PPA seperti yang ditegaskan dalam UU tersebut.

“Kita berharap baik pemerintah dan masyarakat sama-sama menyiapkan instrumen pendukungnya, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. Dengan ketersediaannya pendamping dan lembaga-lembaga yang bisa mengadvokasi kekerasan seksual anak, kita berharap penyelamatan, pendampingan, dan penanganan dan pemulihan anak-anak kita dapat dilakukan sebaik-baiknya,” kata Nahar.

Baca: Cara Sandra Dewi Bangun Bonding dengan Anak, Ngobrol Intens Sebelum Tidur

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."