Alasan Idola K-Pop Semakin Dicintai Remaja Saat Pandemi, Faktor Orang Tua?

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Grup K-Pop BTS tampil dalam acara American Music Awards di Microsoft Theater di Los Angeles, California, 22 November 2021. REUTERS/Mario Anzuoni

Grup K-Pop BTS tampil dalam acara American Music Awards di Microsoft Theater di Los Angeles, California, 22 November 2021. REUTERS/Mario Anzuoni

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Psikolog klinis Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Nanda Rossalia, mengungkapkan salah satu alasan sebagian remaja semakin menyukai para idola K-Pop selama pandemi COVID-19 dua tahun terakhir.

Merujuk pada hasil konseling yang dia lakukan dengan klien remajanya, dia mengatakan ini bersumber dari stres saat berada di rumah. Penyebab stres ini tak lain berasal dari orang tua. "Mereka banyak yang lebih bebas ketika mereka ada di luar sebenarnya. Tetapi untuk mereka yang tinggal dengan stres itu yang agak sulit, karena memang proximity-nya tidak ada. Jadi kemudian mereka ke mana? Ke media sosial, ke internet," ujar dia yang tergabung dalam Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) itu dalam webinar Remaja dan Gawai yang diselenggarakan Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB), Sabtu 14 Mei 2022.

Seiring para remaja ini menyukai idola atau artis K-pop tertentu berkembanglah hubungan parasosial yakni hubungan antara seseorang dengan figur yang ada di layar. Terlebih, para idola K-pop membangun kedekatan dengan para penggemar mereka misalnya melalui siaran langsung di media sosial dan ini disambut positif penggemar. "Karena semakin dia membuka media sosial apalagi bila dia mem-follow, suka ada live, saya melihat mereka. Saya merasa ada intimacy, kayaknya hanya dia (idola) yang bisa mengerti saya sehingga itu yang menjadi part of social interaction," kata Nanda.

Menurut Nanda, sebagian penggemar bahkan bisa merasa hanya idola mereka yang memberi perhatian pada mereka dan berkembanglah istilah "halu" walau bukan dalam artian sebenarnya (halusinasi yakni pengalaman indra tanpa adanya perangsang pada alat indra yang bersangkutan, misalnya mendengar suara tanpa ada sumber suara tersebut). "Semakin kuat itu kemudian menjadi suatu hubungan, jadi hubungan interpersonal kemudian ini jadi realita-nya. Karena dia (idola) sudah ada di kepala itu seperti imajinasinya dan bondingnya kuat, kami menyebutnya hubungan parasosial. Itu perlu juga suatu pendekatan yang lain untuk kita bantu," kata dia.

Menurut Nanda, para remaja ini tidak bisa melawan apa yang terjadi sehingga orang dewasa termasuk orang tua tak perlu berharap mereka bisa melawan karena remaja ini tak bisa dielakkan termasuk generasi yang hadir pada saat teknologi itu berkembang pesat.

Dia menuturkan, ada harapan para remaja ini memunculkan semacam self regulation atau regulasi diri, yang sebenarnya bagi orang dewasa saja termasuk sesuatu yang sulit. Merujuk salah satu jurnal psikologi, regulasi diri yakni kemampuan seseorang untuk mengontrol respons dalam diri, baik itu perilaku (kepribadian) dan biologis (temperamen/watak). Pengaturan diri yang optimal secara langsung berkaitan dengan seberapa baik pelaku mengelola peristiwa baru, kapasitas yang dipengaruhi oleh temperamen, pengalaman perkembangan awal, dan ciri-ciri kepribadian.

"Butuh support system yang baik untuk kita bisa fokus dan tidak terpapar hal yang membuat kita kembali pada suatu rutinitas yang tidak adaptif. Kita bisa minta mereka (melakukan self regulation) tetapi mereka tetap butuh monitoring dan supervisi dari orang-orang di sekitar," kata Nanda.

Baca: Mengenal Greysia Polii, Penggemar K-Pop dan Perjuangan Ibunya Menjahit Baju

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."