Alasan Mengapa Perempuan Memilih Diam Saat Mengalami KDRT

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi KDRT/kekerasan domestik. Shutterstock

Ilustrasi KDRT/kekerasan domestik. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan.

Sayangnya, banyak fakta yang menunjukkan tak sedikit para perempuan menjadi korban, tetapi memilih tetap bertahan dalam mahligai pernikahan dengan sederet alasan. Seperti yang disampaikan Psikolog Anisa Cahya Ningrum, di antaranya ialah karena tidak memiliki bargaining position yang seimbang dengan pasangannya. Merasa lebih rendah, dan layak diperlakukan seperti itu.

"Merasa tidak berdaya, dan mendapat tekanan atau ancaman dan pasangannya, atau pihak tertentu. Memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang rendah," tambahnya saat dihubungi melalui pesan singkat, Jumat 4 Februari 2022 lalu.

Belum lagi dihadapi kondisi saat pasangan meminta maaf dan melakukan konsolidasi sehingga terbujuk untuk kembali menjalani rumah tangga dengan pelaku. Berharap pasangannya akan berubah menjadi lebih baik, dan keluarganya akan menjadi nyaman seperti yang diharapkannya.

"Alasan lainnya ialah memiliki ketergantungan yang tinggi, baik secara fisik, psikologis, maupun finansial. Mengkhawatirkan tentang kondisi anak-anak bila orang tuanya berpisah. Mengkhawatirkan status sebagai janda, mengkhawatirkan stigma dari masyarakat. Khawatir menyalahi aturan agama, yang mengharuskan seorang istri patuh kepada suaminya, meski mendapat perlakuan buruk," papar Anisa.

Tak berhenti sampai di situ, bahkan ketika perempuan sudah sampai tahap melaporkan dan mendapat pendampingan, beberapa juga memutuskan mundur. Hal tersebut terjadi, menurut Anisa lantaran masih banyak perempuan yang tidak punya kuasa atas ancaman dan tekanan dari pihak tertentu.

"Mengkhawatirkan status sebagai terdakwa bagi suaminya, yang akan berdampak psikologis bagi anak-anaknya. Merasa lelah dalam mengikuti proses hukum yang panjang. Lalu mengkhawatirkan stigma dari masyarakat tentang status diri dan suaminya. Belum lagi memiliki kesiapan untuk menghadapi kehidupan selanjutnya, jika suami dipenjara."

Kondisi tersebut dialami korban, karena banyak yang belum mendapat edukasi yang cukup selama pendampingan, sehingga merasa sendiri dan tidak mampu.

Baca: Dicakar Ibu-Ibu, Ridwan Kamil: Jangan Ada KDRT ke Pak Gubernur

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."