Dampingi Anak dengan Penyakit Langka, Wynanda BS Ungkap Pentingnya Arti Menerima

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Wynanda Bagyo Saputri. Dok. Pribadi

Wynanda Bagyo Saputri. Dok. Pribadi

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Pierre Robin Sequence (PRS), nama penyakit yang sekilas mendengar terdengar asing ini menyerang Kirana Aisha Putri Wibowo, anak ke-2 dari Wynanda Bagiyo Saputri atau Wynanda BS, yang kini berusia hampir delapan tahun. Memang, tak banyak orang yang mengetahui penyakit tersebut. Bukan hanya orang awam, tenaga medis pun tak semua tahu, karena memang tidak banyak bayi yang lahir dengan sindrom langka ini.

Melalui obrolan hangat Cantika dengan Wynanda pada via zoom, Jumat 10 Desember 2021, ibu dua putri ini dengan antuasias membagikan perjalanannya bersama Kirana. Ia mengatakan saat putrinya lahir, sejujurnya saat itu tidak terdapat tanda-tanda khusus kalau ada yang tidak beres dari kondisi Kirana.

Sejenak kembali ke delapan tahun lalu, Kirana kecil lahir tepat pada 8 Februari 2014, dengan berat lahir rendah, 2,037 gram dan mengalami afiksia. Ia tidak menangis saat dilahirkan. Ia juga memiliki fisik yang unik. Ia terlahir dengan dagu kecil, sehingga membentuk jarak selebar 1,5 cm antara rahang atas dengan rahang bawah.

Bukan hanya itu, hasil pemeriksaan menunjukkan Kirana memiliki lingkar kepala kecil, lubang kecil di jantung, serta mengalami perdarahan di retina. Kondisi Itulah yang dinamakan PRS, termasuk suatu kelainan kongenital langka.

Sebagai informasi, PRS merupakan serangkaian kelainan kongenital yang berdasarkan sebuah studi di Jerman terjadi 12,4 per 100.000 kelahiran hidup. Kondisinya akan terlihat saat lahir, ditandai dengan micrognathia (ukuran rahang bawah yang lebih kecil dari ukuran normal atau lebih mundur daripada rahang atas), lidah yang jatuh di tenggorokan dan menutup jalan nafas sehingga menyebabkan kesulitan bernafas.

Baca: Spesial Hari Ibu, Agar Aziza Mendapatkan Kesempatan yang Sama

Kirana Aisha Putri Wibowo. Dok. Pribadi

“Pas baru lahir sejujurnya aku waktu itu biasa saja, karena belum tahu, lalu dokter yang waktu itu ngerawat aku ternyata sudah punya dugaan. Nah aku sendiri belum tahu sama sekali, aku baru tahu itu belum lama ini, karena menemukan surat rujukan yang dulu, terus iseng aku baca dan ternyata memang tulisannya multiple congenital anomalies,“ ucap perempuan kelahiran Mei 1984 ini. 

Ternyata, lanjut Wynanda, dokter sudah punya dugaan ke arah sana, tetapi ia dan suami sama sekali tidak diberi tahu, sehingga benar-benar tidak ada bayangan. Saat itu yang mereka tahu hanya ukuran janin kecil, makanya disarankan untuk terminasi, dan waktu ia sempat mencari pilihan kedua, ketiga, jadi tidak hanya ke satu dokter.

“Semua dokter yang kami temui menyarankan untuk terminasi, tapi kita semua tidak ada bayangan bahwa anak ini akan terlahir dengan kelainan kongenital atau bawaan lahir yang multiple. Waktu baru lahir, kalau aku jujur saja karena proses induksinya berjam-jam, rasanya sama seperti ibu-ibu lain baru yang merasa lega dan bersyukur.

Hanya saja, lanjut Wynanda, saat itu memang ada perasaan berbeda karena tidak ada suara tangisan dan tidak ada dibawa sama sekali ke dirinya untuk dikasih lihat, padahal kan semestinya ditaruh dulu di dada untuk Inisiasi Menyusui Dini (IMD), sama seperti kakaknya Kasih.

“Karena dia tidak menangis secara spontan, jadi tim tenaga medis itu melakukan upaya penyelamatan pertama, lalu langsung dibawa ke ruang ICU, tanpa sempat aku lihat. Karena yang pertama tahu itu ayahnya, yang anter itu ayahnya, pas balik dia bilang suster pada bilang dagunya kecil, pierre robin katanya,” lanjut alumnus magister Manajemen Pemasaran STIE Kusuma Negara ini. 

Pada momen itu, karena Wynanda mengaku pada dasarnya termasuk tipe cuek maka tidak terlalu memusingkan yang terjadi sama putri keduanya dan mencari nama saja. “Aku enggak sampai takut, stres atau sedih itu enggak ada, yang paling dominan itu aku ngerasain ibu-ibu pada umumnya aja, senang.”

Wyanda sempat melihat Kirana di dalam inkubator dengana da jarum menancap di tubuhnya tidak hanya satu yang dibantu alat monitor juga. Saat itu, diakui rasa sedih ada, tapi dia mengaku bukanlah termasuk sosok yang mudah terpuruk. Hal penting yang mantan atlet Taekwondo ini pikir pertama kali jika Kirana butuh kekuatan.

“Waktu itu aku akhirnya ketemu sama dokter dan baru dibilangin lagi namanya pierre robin, setelah itu baru mencari informasi tentang pierre robin, tetapi waktu itu cari artikel lengkap belum banyak yang mengulas,Cuma ada satu artikel bahasa Indonesia yang bisa diakses. Saat itu yang aku ingat, tertulis jika nanti dagu si anak akan berkembang sendiri di usia 18 bulan.”

Baca: Curahan Hati Primaningrum Arinarresmi Dianugerahi Anak Tuna Netra 16 Tahun Lalu

Pondasi Kekuatan itu Bernama Penerimaan

Wynanda Bagyo Saputri bersama anaknya, Kirana Aisha Putri Wibowo. Dok. Pribadi

Bagi Wynanda, kehadiran Kirana pasti ada tujuannya. Saat itu yang dipikirkan ialah bagaimana agar ia segera bangkit untuk berada di posisi penerimaan dan pengakuan. “Apa yang aku lakukan ya sudah anak aku memang begini, kita harus akui juga kalau misalnya dibilang kok ada anaknya kayak gini sih, ya tinggal aku jelaskan. Sesusah apapun dihadapi, yang penting usaha dulu.”

Tak dimungkiri untuk mencapai tahap ini ialah orang tua dulu yang perlu dikuatkan, karena menurut dia kalau orangtuanya belum kuat dan sejalan, maka akan menjadi hambat di proses selanjutnya. Sebab, bagi dia kalau seseorang sudah bisa menerima, kita tidak bisa memaksa siapapun untuk menerima kondisi tersebut, bahkan jika itu adalah suami kita sendiri, kita tidak bisa memaksakan jika tidak dari dirinya sendiri. Dan, kita pun harus menguatkan diri sendiri lebih dulu, karena mau sekuat apapun support system, tidak akan berpengaruh besar jika tidak dari diri sendiri.

“Well, ketika sendirian kadang-kadang aku suka bertanya pada diri sendiri “kenapa gue sih”, dan aku berpikir gitu bukan gimana-gimana, aku cuma mikir kenapa aku, gimana aku nantinya gagal memberi Air Susu Ibu atau ASI untuk Kirana,” ungkap peraih Indonesia Award 2016 ini. 

Hal pertama yang terpenting menurut Wynanda menjalani proses tersebut, pondasi nya adalah penerimaan dan mengakui kondisi anak. Menurut dia kalau kita bisa nerima kondisi anak, kita akan lebih mudah untuk melakukan tindakan selanjutnya. Kalau kita tidak bisa menerima kondisi anak itu akan membuat hal-hal menjadi lebih sensitive, bisa saja membuat orang tua makin marah karena kondisi seperti ini stigma negatifnya besar.

“Kemudian sembari menerima, faktor spiritual juga punya andil. Aku sendiri bukan orang yang islami, tetapi secara umum, aku itu dari dulu punya keyakinan bahwa Tuhan itu baik dan dia selalu punya rencana buat kita. Mau seburuk apapun kondisi aku saat ini, pasti maksud Tuhan tuh baik.”

Mungkin pandangan orang dan lingkungan seitar tentang Kirana pun begitu “kasian ya masih kecil udah di infus segala macem”, tapi di sisi lain kalau kita mengubah sudut pandang kita, pasti kita bisa melihat maksud Tuhan,”

Wynanda Bagyo Saputri bersama anaknya, Kirana Aisha Putri Wibowo. Dok. Pribadi

Terapi yang Ditutup oleh BPJS

Banyak yang bilang kalau kita diberikan masalah sudah dilengkapi satu paket dengan jalan keluarnya. Termasuk bagaimana Wynanda berupaya mencari biaya untuk terapi Kirana, sebab jenis terapinya memang beragam dan Kirana juga tidak pakai obat oral secara khusus. Bebebrapa terapi dikatakan Wynanda di-cover oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS)

Jadi untuk terapi berupa cek kondisi secara periodik yang biayanya memang besar, semuanya sekitar 95 persen dan bersyukur bisa di-cover oleh BPJS. Belum lama ini aku screening biayanya 700 ribu, Pemeriksaan biologi 1,5 juta, dan USG abdomen kurang lebih 500 ribu. Kalau BPJS diketahui sistemnya per-paket setiap diagnosis, jadi dokter yang menentukan jenisnya. 

"Untuk rare disase, sistem BPJS ini tricky dan ketika bertemu dengan dokter, kita harus tahu apa yang kita ingin tanyakan, apa yang ingin kita diskusikan dengan dokter, jadi tidak blank. Kita juga perlu menemukan dokter yang tepat, dan kita juga harus bisa menilai apakah dokter tersebut bisa kita ajak diskusi dan apakah dia cukup terbuka untuk kita ajak diskusi."

Secara umum, fasilitas BPJS diyakini Wynanda sangat membantu, tetapi kalau untuk sistem itu masih sangat kurang bersahabat untuk pasien kronis dan ada beberapa biaya pengobatan yang sangat tinggi tapi tidak di-cover. "Tapi sangat membantu sih menurut aku."

Peran Komunitas Bisa Menjaga Kekuatan

Komunitas itu termasuk ke support system, itulah alasan Wynanda membangun komunitas yang bernama Indonesia Care Rare Disease. Support group untuk penyintas penyakit langka dan keluarganya, serta bagi semua pihak yang peduli.
Menurut dia, jika memiliki anak dengan berkebutuhan khusus carilah komunitas yang sesuai, sebab itu sangat membantu. Saat ini, untuk komunitas penyakit langka di Indonesia juga sudah jauh lebih baik dibanding waktu 2014 lalu, bertepatan Kirana lahir.

"Karena aku pun juga suka dapat informasi PRS dari komunitas, tapi ya balik lagi ke penerimaan dulu, kalau tidak ada penerimaan dari diri kita ya percuma, mau masuk ke komunitas mana pun, mungkin akan mental juga. Yang kita cari itu bukan hanya dukungan, tetapi juga solusi, bukan mencari dukungan untuk mendapat pembenaran," tambahnya. 

Sebenarnya, tidak salah jika membutuhkan penguatan untuk hal yang benat, tetapi etrkadang ada pula tipikal orang yang merasa apa yang dilakukan sudah tepat padahal sebenarnya belum. Sehingga, ketika dia mencari komunitas, itu dia bukan mencari sesuatu penguatan untuk dilakukan, tetapi minta dikuatkan. 

"Sementara itu, kalau peran pemerintah dalam penyakit langka, masih susah dan jauh sekali, belum lagi PR-nya masih banyak banget. Yang secara global pun aku perhatikan juga memang masih belum mudah untuk mendapatkan informasi dan support. Cuma mungkin nanti pasti ada waktunya masing-masing," harap Wynanda yang juga menjadi Founder komunitas ASI, Tambah ASI Tambah Cinta ini. 

Sebagai pamungkas, masih di momen Hari Ibu, tak lupa Wynanda mengingatkan lagi pada sesama orang tua, khususnya yang dianugerahi anak berkebutuhan khusus. Menurutnya biar bagaimana pun, kondisi mereka tetaplah menjadi amanah dan memiliki hak yang sama. Meski kondisinya berbeda, otomatis pemenuhan kebutuhan mereka juga akan berbeda.

“Oleh sebab itu, penting sekali untuk bisa menerima kondisi anak, bagaimana pun buruknya mereka tetap punya hak yang sama. Tugas kita adalah merawat sebaik mungkin, karena baik lagi itu amanah, lalu carilah terapi yang sesuai dengan ilmu yang sebenarnya,” pungkasnya diakhiri senyuman.

Baca: Wujud Cinta Tanpa Syarat dari Kartika Nugmalia untuk 3 Anaknya yang Istimewa

ECKA PRAMITA | YINOLA CRISSY ELENROSE HADRIAN

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."