Wujud Cinta Tanpa Syarat dari Kartika Nugmalia untuk 3 Anaknya yang Istimewa

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Kartika Nugmalia. Dok. Pribadi

Kartika Nugmalia. Dok. Pribadi

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta -  Nak, dari kalian bunda banyak belajar tentang hidup
Tentang hal-hal yang selama ini mengganjal dalam hati
Kalian mengisi halaman buku kosong itu dengan coretan penuh warna lembar demi lembarnya

Nak, biar bunda bisikkan satu hal penting untuk kalian
Bunda mencintai kalian...
Selalu dan selamanya...
(Puisi Kartika Nugmalia - Cinta Tanpa Syarat halaman 174)

Memiliki buah hati, bagi semua orang tua di dunia, tentunya mendatangkan kebahagiaan dalam hidup. Begitu juga dengan Kartika Nugmalia yang karib disapa Aya. Namun, tiga sumber kebahagiaannya terlahir sebagai anak berkebutuhan khusus yang tak terbayangkan dalam satu kelebatan pun.

Putra pertamanya, Shojiki Kenzie Salfarino (10 tahun) diagnosis Attention Deficit Disorder atau ADD dengan Dyspraxia yakni gangguan pergerakan dan koordinasi akibat adanya kelainan pada perkembangan sistem saraf. Kemudian putra kedua, Averey Hanif Salfarino (8 tahun) mengidap Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD dengan Dyspraxia.

Lalu yang ketiga putri bungsunya, Aisha Nazneen Salfarayra (6 tahun) mengalami cerebral palsy, CMV, Microcephaly (kondisi langka dimana kepala bayi berukuran lebih kecil dari ukuran kepala bayi normal), Dysfagia, West Syndrome (salah satu jenis kejang), Cortical Visual Impairment, dan Enchepalomalacia (pelunakan otak). Sebagai informasi CMV atau Cytomegalovirus adalah infeksi bawaan dari lahir merupakan infeksi yang paling sering terjadi dengan bentuk klinis berbeda-beda.

Kondisi tersebut membuat tumbuh kembang anak istimewa Aya dan suami Ryan Salfarino berbeda dari teman-teman sebayanya. Setiap hari mereka membutuhkan perhatian khusus. Penyangkalan pun pernah singgah di hatinya. "Saya rasa semua orang tua pasti ingin punya anak normal dan sehat. Di awal sempat menyangkal tapi ya tidak akan mengubah juga," kata perempuan kelahiran 1982 ini.

Akhirnya ia mulai cari-cari informasi dari internet, meminta pada dokter spesialis yang mumpuni dan menemukan sahabat seperjuangan yang saling menyemangati dan memotivasi. Lambat laun, ia pun bisa menerima kondisi ketiga anaknya.

Sedari awal membangun keluarga, Aya dan suami memiliki komitmen yang kuat di awal pernikahan. Satu suara, satu hati, saling terbuka dan saling mendukung adalah salah satu kekuatan terbesar saat mengetahui ketiga buah hati tumbuh dengan kebutuhan khusus. Selain suami, dukungan keluarga adalah motivasi hidup dalam dirinya.

Kartika Nugmalia bersama suami dan ketiga anaknya. Dok. Pribadi

"Keluarga besar, Alhamdulillah juga menerima kondisi Shoji, Rey, dan Aisha, begitu juga sahabat sahabat kami selain teman di media sosial pun memberikan dukungan dari komentar yang menyemangati saat kami berbagi cerita tentang anak-anak," ujar ia.

Sebenarnya perkembangan anak pertama Aya, Shoji, layaknya balita-balita normal lainnya hingga usia 17 bulan. Dia mampu mengucap kata seperti 'cicak, tutup, ayah'. Namun saat usianya menginjak 18 bulan, semakin sulit untuk menyebutkan kata-kata tersebut, Shoji lebih banyak berkomunikasi menggunakan gerak tubuh.

"Hingga usia kurang dari 4,5 tahun, kemampuan bicaranya masih terbatas seperti anak usia 1,5 tahun. Shoji mulai dapat merangkai kalimat sederhana di usia 6 tahun," Aya menjelaskan.

Kebahagiaan ibu yang aktif menjadi Blogger ini saat Shoji berhasil mengucap kata demi kata mungkin telah lebih awal dirasakan oleh para ibu yang lain. Namun bagi Kartika tak ada kata terlambat, Shoji memberikan berkah yang tiada terkira.

Anak kedua, Rey mengalami ADHD. Tandanya si anak terus bergerak, tidak bisa diminta untuk duduk tenang. Kecuali memang ada hal yang menarik perhatiannya sekali. Duduk juga tidak jenak. "Pokoknya pengennya bergerak terus. Lari, nabrak-nabrak, tangannya menggapai-gapai biasanya," imbuh ia.

Kemudian, Aisha. Ia mengungkapkan apa yang terjadi pada Aisha lebih kompleks. Anak bungsunya ini terdiagnosis echepolamalacia lobus parietal bilateral (pelunakan jaringan otak) ditambah kejang epilepsi yang terhubung ke west syndrom yakni salah satu jenis epilepsi kejang halus yang membahayakan otaknya, lebih berbahaya dari epilepsi kejang biasa.

"Namun kata dokter sudah ada pengobatan dan terbukti bisa disembuhkan. Ini salah satu harapan terbesar kami," ungkap lulusan Ilmu Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada ini.

Aya tak pernah lelah berjuang untuk membantu anaknya. Shoji terus menjalani terapi sensori integrasi empat kali dan fisioterapi sekali sehari. Sementara Aisha, pengobatan yang dilakukan saat ini adalah terapi sensori 3 kali seminggu dan terapi wicara (oral) 1 kali seminggu, ditambah terapi obat anti kejang dan beberapa vitamin untuk meningkatkan fungsi otak.

Kejutan itu Bernama Harapan

Kartika Nugmalia, ibu dengan tiga anak berkebutuhan khusus. (Dok pribadi)

Seiring waktu kedua kakaknya perlahan mulai lepas dari terapi rutin, sehingga Aya bisa dan suami bisa fokus pada anak ketiganya yang kini berusia 6 tahun. "Aisha sampai saat ini masih tahap terapi ke umah sakit kalau kedua kakaknya sudah mulai lepas terapi. Masa pandemi semakin terasa effort-nya ya, bisa dibilang ibu dengan anak-anak yang biasa juga mengalami kondisi burn out dan sejenisnya."

Dengan raut wajah penuh binar dari pantulan kamera zoom, Aya menuturkan perkembangan Aisha. Progres Aisha pasca-operasi mulai bisa merasakan nyaman kalau dipeluk rasanya lebih tenang, mulai resah kalau kondisinya sedang nyaman.

"Sebelumnya kan kalau makan diam saja, popok basah juga tidak dirasakan, sekilas seperti tidak ada ekspresi. Jujur kalau merasakan Aisha seperti tidak ada di rumah karena kami tidak bisa melakukan komunikasi dalam bentu apapun. Gimana ya rasanya kaya anak aku tuh cuma dua."

Momen yang dinantikan akhirnya datang juga, setelah lima tahun menunggu merasakan kehadiran Aisha sangat berharga. Jadi begini ya rasanya ketika anak saya mulai 'hidup" dan mengekspresikan apa yang seolah ingin disampaikan. Sebuah kejutan yang membuatnya kian bersemangat.

"Untuk mendukung anak berkebutuhan khusus, sebenarnya dimulai dari orang tuanya dulu. Bagaimana orang tua dengan anak berkebutuhan khusus bisa menerima kondisi anak-anak apa adanya," ucap Aya. 

Soal Biaya, Tuhan Sudah Menyiapkan

Menyekolahkan kedua anak di sekolah inklusi, membayar biaya terapi untuk ketiga buah hatinya, menebus obat, membeli susu khusus Aisha, pospak, dan ganti NGT atau Nasogastric Tube setiap minggu, rasanya mustahil jika dihitung-hitng dari pendapatan dia dan suaminya.

"Tapi ya, rezeki tak terduga yang kadang entah dari mana asalnya selalu datang sebagai jalan untuk kami memenuhi kebutuhan anak-anak. Kami yakin Allah yang sudah mengatur semuanya dengan menyentuh hati dan menggerakkan tangan orang-orang baik di sekitar kami," katanya.

Sebab, perlu diketahui jika terapi membutuhkkan biaya yang tidak sedikit. Kendati demikian Aya sangat bersyukur karena ada biaya terapi yang dicover oleh BPJS, khususnya untuk fisioterapi yang dibatasi hingga anak usia 7 tahun dengan durasi dua kali seminggu.

"Selain itu periksa rutin dan obat-obatan juga di-cover, jadi tetap mengeluarkan biaya untuk operasional. Sementara kalau alat bantu latihan yang kita punya tidak dicover jadi diusahakan sendiri, apalagi waktu Aisha masih pakai selang NGT," lanjut dia.

Jika Lelah, Saatnya Ambil Jeda

10 tahun sudah, masa yang dilalui oleh Aya bersama anak-anaknya. Dalam perjalanan itu rasanya bisa diibaratkan seperti roller coaster, kadang naik ke atas, sering pula berada di bawah. Lantas, bagaimana cara Aya menyemangati dirinya jika ia merasa lelah?

"Pasti kan ada masa-masa kalau Aisha tidak mau lepas dari gendongan dengan bobot yang tidak ringan lagi. Itu adalah masa transisi dia kalau tiap bangun tidur mencari aku. Kalau sudah ditenangkan lalu tidur sebentar dan bangun lalu nangis lagi. Aku dan suami bergantian menjaga, sampai dua kakaknya nggak kepegang, dan nggak sempat masak.

Lantaran tenaga dan waktunya yang tersita itulah, Aya merasa perlu mengambil jeda dari semua hal dan berusaha fokus pada apa yang bisa dia lakukan. "Akhirnya aku fokus apa yang bisa aku lakukan, ya sudah aku lakukan saja. Tidak memikirkan hal-hal lain."

Caranya, lanjut Aya dengan berdialog ke diri sendiri, sebisa mungkin menjauhi media sosial dulu sementara karena kalau kondisi sedang tidak enak, membaca cerita teman-teman yang bahkian senasib pun rasanya ikut sedih dan menusuk. Lebih baik jeda dan tidak menanggapi dulu kalau kondisi hat lagi tidak memungkinkan.
Mencoba menikmati atau mindful dengan apapun yang dia kerjakan dan tidak memikirkan hal-hal di luar jangkauan.

"Fokus sama kerjaan rumah dengan perlahan-lahan, konsep mindful yang selama ini dibilang orang banyak ternyata memang bisa aku rasakan, bahkan saat kita bernapas sekalipun. Awalnya tidak menyadari kalau mindful bisa bantu healing perasaan, padahal kegiatan sederhana tetap bisa dinikmati."

Sebagai pamungkas jika sudah merasa lelah, kemana lagi Aya mengadu selain kepada Sang Pemberi Hidup, "mau kemana lagi sih kita bercerita selain sama Tuhan?"

Komunitas Epilove.C Membuat Aya Tak Merasa Sendiri

Seberapa penting komunitas untuk saling mendukung dan tidak sendiri, sangatlah dirasakan Aya. Alasan itulah yang mendasarinya untuk membuat komunitas Epilove.C, suatu komunitas yang peduli epilepsi, mendukung orang tua dan anak dengan diagnosis West Syndrom dan Lennox Gastaut Syndrome. 

Awalnya Komunitas Epilove.C terbentuk secara tidak sengaja, bermula dari kebingungan Aya perihal diagnosis epilepsi yang Aisha rasakan. Mengapa kejangnya bisa sampai puluhan dan ratusan kali dalam sehari dan itu terjadi setiap hari.

"Akhirnya aku menuliskan pengalaman itu di blog dan beberapa pembaca mulai menghubungi karena mereka memiliki problem yang sama. Akhirnya bikin grup WhatsApp bertiga dan saling cerita, rasanya excited sekali karena menemukan teman seperjuangan," paparnya.

Sebab informasi dari medis tidak menyebutkan secara pasti harus bagaimana, hanya bilang diminta sabar untuk menjalani proses yang panjang, Baru seiring waktu ketemulah kalau nama diagnosis penyakitnya bernama West Syndrom dan Lennox Gastaut Syndrome.

Sudah dua tahun yang lalu, mulai dari tiga orang sekarang sudah sampai 100 orang yang ingin bergabung. "Obrolannya dinamis mulai dari obat, terapi, hingga progres yang dialami oleh para anggotanya untuk saling menyemangati satu sama lain," ujarnya.

Harapan untuk Sesama Ibu di Hari Ibu, Lakukan yang Membuat Bahagia

Kartika Nugmalia. Dok. Pribadi

Biar bagaimana pun, bagi Aya, yang saling mengerti sesama perempuan adalah perempuan, sebab setiap perempuan punya tantangan. Jangan sampai kita merasa mudah melalukan sesuatu lalu menganggap itu jadi tidak mudah, bukan berarti kita merasa mudah orang lain mudah, ada banyak yang struggling dengan hidupnya.

"Orang-orang dan kondisi berbeda, kita nggak bisa mengomentari mereka dengan kondisi yang kita rasakan. Sekarang aku menyadari kalau anak-anak aku dikasih teori parenting yang idealis itu ternyata tidak sesuai dengan kondisi aku. Jadi aku berusaha menemukan solusi dari diri sendiri, tidak melulu mengikuti apa yang orang lakukan."

Resep kuat Aya hingga kini, bisa jadi karena ia meyakini benar bahwa dengan melakukan hal-hal yang membuatnya bahagia, maka segalanya lebih terasa mudah. Menurutnya, lakukan apa yang bisa membuat diri kita bahagia, sebab ia yakin jika kita bisa melakukan screening apa yang membuat kita bahagia.

"Justru yang bikin kita stres itu karena ekspektasi kita yang terlalu tinggi. Hal positif yang sudah kita capai, mensyukuri apa yang kita punya. Tidak mudah, tetapi berhasil aku lampaui dan sudah sampai di titik ini, membangun rasa aku berharga. Setiap ibu memiliki pencapaian kecil yang tidak mereka sadari. Hal sepele karena sudah biasa akhirnya cenderung diabaikan," pungkasnya. 

Baca: Emmy Haryanti Ungkap Kunci Berkomunikasi dengan Anak Down Syndrome

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."