Depresi Meningkat, Ini Tips Psikolog Agar Tetap Produktif di Masa Pandemi

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Kampanye Edukasi Good Doctor dan LSPR

Kampanye Edukasi Good Doctor dan LSPR "Good Knowledge, Good Health"/Good Doctor

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Bulan Oktober ini bertepatan dengan Bulan Kesadaran Kesehatan Mental Sedunia. Masalah mental juga menjadi salah satu hal yang menjadi sorotan di masa pandemi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami masalah mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi. Saat ini, prevalensinya di Indonesia meningkat tajam, yaitu 1 dari 5 orang atau 20 persen dari populasi berisiko mengalami masalah kesehatan mental. Artinya masalah kesehatan mental bisa terjadi pada siapa saja, termasuk anak muda. Psikolog Klinis Jenyffer mengatakan situasi pandemi Covid-19 membuat milenial sangat rentan mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi dan ansietas.

Situasi pandemi membuat mereka sering kali merasa diabaikan, terbatasnya ruang untuk mengekspresikan diri dan bersosialisasi. “Adapun yang dapat dilakukan anak muda agar kuat mental selama pandemi menurut Jennyfer adalah: melihat rasa cemas sebagai alat bantu untuk mengambil tindakan agar tetap bisa berkembang dalam situasi sulit, temukan cara baru untuk berinteraksi dengan teman, fokus pada diri sendiri agar bisa menemukan cara produktif untuk bertahan di masa pandemi,” katanya dalam acara bertajuk “Good Knowledge, Good Health” atas kerja sama Good Doctor Technology Indonesia (GDTI) berkolaborasi dengan The London School of Public Relations (LSPR) Communication & Business Institute.

Jennyfer menyarankan beberapa hal agar masyarakat bisa lebih produktif dan bertahan di masa pandemi ini. Pertama adalah suasana kondusif. Jennyfer mengatakan ia sering mendengar bahwa bekerja di kasur menjadi aktivitas yang semakin sering dilakukan selama pandemi. Agar kamu tidak jenuh dan stres, Jennyfer menyarakan untuk tidak beraktivitas di atas ranjang dalam kamar. "Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk bantu tingkatkan atensi serta emosional dan perilaku lebih teratur melalui spot 'bekerja'," katanya. Ia lebih mengajak masyarakat untuk melakukan aktivitas di ruang tamu atau ruang makan.

Jennyfer pun menyarankan agar masyarakat memiliki rutinitas untuk bekerja dan istirahat. Memang ketika sering berada di rumah, maka kemungkinan kamu akan bermalas-malasan, tapi dengan adanya rutinitas, kamu bisa lebih terbiasa ketika memulai kerja. "Bisa rapikan pekerjaan dulu atau minum teh. Atur suhu ruangan, cahaya jangan redup karena malah bikin mata capek dan ngantuk," katanya.

Jennyfer pun menyarankan agar masyarakat melakukan manajemen tugas. Work From Home mengharuskan diri untuk bisa lebih disiplin. "Maka dari itu, harus diatur kapan waktu bangun dan tidur, kapan waktu untuk kerja dan istirahat," katanya.

Merawat diri pun penting di masa pandemi. Hal itu bisa membuat kamu untuk lebih produktif. Self care berperan untuk menjaga hubungan sehat dengan diri sendiri sehingga dapat meningkatkan positif pada diri dan kepercayaan diri. Self care sendiri berarti membantu tubuh lebih rileks dengan cara yang tepat. Ia mengajak masyarakat memikirkan fisik sendiri. Sebenarnya, apa yang dibutuhkan? Kamu bisa masker wajah untuk mencintai kulitmu, kamu juga bisa melakukan jurnaling bila kamu menyukainya. "Apa yang bikin lebih rileks sehingga saat mau kerja lagi bisa lebih semangat. Mentally juga sangat berpengaruh," katanya.

Agar lebih rileks secara mental, Jennyfer mengajak masyarakat untuk melakukan teknik pernapasan 4-7-8. Artinya, menarik napas lewat hidung selama 4 detik. Selanjutnya, merasakan napas mengalir sampai rongga perut an menahan napas selama 7 detik. Lalu buang napas perlahan selama 8 detik berikutnya.

Bila perlu, Jennyfer pun mengajak masyarakat untuk melakukan konsultasi agar bisa mencegah depresi di masa pandemi. Apabila khawatir untuk tatap muka, Jennyfer menyebut telemedis juga menjadi solusi atas keterbatasan penanganan kesehatan mental di Indonesia.

Dengan berkembangnya layanan kesehatan mental di Indonesia, banyak yang masih perlu dilakukan untuk menurunkan stigma yang diasosiasikan dengan kesehatan mental dan mendorong diskusi tentang kesehatan mental. Dari sekitar 10 ribu puskesmas di Indonesia, baru 60 persen puskemas yang memberikan layanan kesehatan mental.

Dari sisi tenaga profesional yang menangani kesehatan mental, Indonesia juga masih kekurangan. Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK) menyebutkan jumlah psikolog klinis yang tersebar di Indonesia saat ini hanya sebanyak 2.782 orang. Artinya, hanya ada 1 psikolog untuk 90 ribu orang di Indonesia, sementara standard yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 1 tenaga psikolog melayani 30 ribu orang. Sebanyak 70 persen berada di pulau Jawa, 20 persen terkonsentrasi di Jakarta.

Sedangkan sampai hari ini jumlah psikiater untuk pelayanan kesehatan jiwa hanya mempunyai 1.053 orang. Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk.

Head of Medical Management GoodDoctor dr. Adhiatma Gunawan, menjelaskan, dengan adanya fitur telemedicine atau konsultasi online di Good Doctor, membuat milenial bisa mengakses pengobatan kesehatan mental dengan lebih mudah.

Sebab, kebanyakan anak muda tidak nyaman menceritakan masalah emosional dan mental mereka kepada orang tua karena adanya stigma, maka telemedis menjadi solusi terbaik bagi milenial untuk berkonsultasi dengan psikiater atau psikolog tanpa takut dicap negatif. "Di masa peningkatan kasus COVID-19 di antara bulan Mei dan Agustus, kami mencatat peningkatan jumlah konsultasi harian terkait kesehatan mental hingga 80 persen, yang menjadi indikator bahwa semakin banyak kaum milenial yang mau berbicara terbuka tentang kondisi kesehatan mental yang dihadapi," kata dokter Adhiatma.

Baca: Psikolog Ingatkan Main Media Sosial Perlu Pikiran Kritis

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."