2 Sosok Laki-laki Pujaan Kartini, Bisa Ikuti Jalan Pikirannya

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Yunia Pratiwi

google-image
RA Kartini. Wikipedia/Kementerian Penerangan

RA Kartini. Wikipedia/Kementerian Penerangan

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Semasa hidup Kartini, ada dua laki-laki yang sangat dicintainya, yaitu ayahnya Raden Adipati Ario Sosroningrat dan kakaknya Raden Mas Panji Soseokartono. Kedua orang ini menjadi pelindung dan teman ketika ia menjalani pingitan.

Usai menyelesaikan pekerjaannya, Sosroningrat, yang menjabat sebagai Bupati Jepara selalu mencurahkan perhatiannya. Sementara Kartono selalu mendukung pola pikir Kartini yang haus pengetahuan. "Hanya mereka yang bisa mengikuti jalan pikiran saya," tulis Kartini dalam surat untuk Nyonya Nellie van Kol, penulis Belanda, pada 1896.

Dalam buku Kartini: Sebuah Biografi, yang ditulis Sitisoemandari Soeroto, Kartono kerap memberi beragam bacaan bagi Kartini. Misalya di sela libur sekolah di Hogere Burger School Semarang, ia membawa buah tangan berupa buku bacaan saat pulang ke Jepara. Bukunya pun beragam dari buku soal pengetahuan dunia modern dengan topik emansipasi dan revolusi Prancis hingga novel-novel populer.

Namun sebagai anak laki-laki, Kartono lebih beruntung karena dikirim ayahnya bersekolah ke Semarang dan dititipkan pada keluarga Belanda. Pada 1898, ketika Kartini sedang bermimpi bisa merasakan pendidikan di Eropa, Kartono terbang ke Belanda melanjutkan studi. Ia menjadi mahasiswa Indonesia pertama yang bersekolah di tanah Ratu Wilhelmina.

Waktu itu usia Kartono 21 tahun. Awalnya, ia diterima di Sekolah Teknik Tinggi di Universitas Delft, tapi tak betah. Ia pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden. Di jurusan itu, dia menamatkan studi dengan predikat summa cum laude bergelar doctorandus in de Oostersche—doktorandus dari Timur. Kartono menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku Nusantara. Kemampuan itu membuat ia dijuluki "Si Jenius" oleh teman-temannya.

Setelah lulus, ia tak segera pulang. Buku Jagat Wartawan Indonesia, yang ditulis Soebagijo Ilham Notodidjojo, mencatat Kartono menjadi wartawan di New York Herald—kini The New York Herald Tribune—di kantor biro Wina, Austria. Ketika berusia 40 tahun, pada 1917, Kartono meliput Perang Dunia I. Kartono juga bekerja sebagai penerjemah di Kedutaan Besar Prancis di Den Haag seusai perang. Kariernya menanjak dan mencapai puncaknya saat ia menjadi kepala penerjemah Liga Bangsa-Bangsa, embrio Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Jenewa, Swiss, pada 1919.

Enam tahun kemudian, dia pulang ke Hindia Belanda. Pemerintah kolonial menawarinya jabatan bupati, tapi ditolak. Ia memilih menjadi Kepala Perguruan Taman Siswa di Bandung. Kartono adalah senior aktivis pergerakan semacam Sukarno, Dr Samsi, Mr Sunario, dan Mr Usman Sastroamidjojo.

Di Bandung, orang-orang memanggilnya "Ndoro Pangeran Sosro". Selain mengajar, dia mendirikan balai pengobatan Darussalam, yang menyatu dengan rumah besarnya di Jalan Pungkur Nomor 19. Hingga meninggal pada 8 Februari 1952 di usia 74 tahun, kakak Kartini itu tak pernah menikah atau mengangkat anak. Presiden Sukarno memerintahkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menjemput jenazahnya untuk diterbangkan ke Semarang, sebelum dimakamkan di Kudus.   

MAJALAH TEMPO

Baca juga: Kartini Meninggal di Usia Muda, Ini Sosok yang Melanjutkan Perjuangannya

    

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."