Mengenal Kartini Sebagai Trinil: Burung yang Lincah, Cerewet, Jahil, dan Cerdik

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Raden Ajeng Kartini. Wikipedia/Tropenmuseum

Raden Ajeng Kartini. Wikipedia/Tropenmuseum

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaKartini adalah sosok perempuan yang aktif dan kritis. Sejak kecil, dia menunjukkan ketertarikan akan berbagai pengetahuan dan interaksi dengan orang lain. Seperti jiwa yang gelisah dan selalu ingin tahu atas segala sesuatu.

Kartini memang pribadi yang tampaknya memiliki jiwa gelisah dan rasa ingin tahu besar. Berdasarkan cerita adiknya, Kardinah, sejak kecil Kartini adalah anak yang enggan diatur.

Sehari-hari dia sangat lincah, gesit, dan pandai. Kartini kecil suka bermain di kebun, meloncat-loncat, berlari-lari, dan mudah bergaul. Kebiasaan ini juga digambarkan Kartini dalam sebuah surat.

"Saya dinamakan kuda kore, kuda liar, karena saya jarang berjalan, tetapi selalu meloncat-loncat dan berlari," kata Kartini dalam suratnya kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar, 18 Agustus 1899. "Bagaimana saya dimaki-maki karena terlalu sering tertawa terbahak-bahak yang dikatakan tidak pantas, oleh sebab memperlihatkan gigi saya."

Tidak aneh, ayah dan kakak-kakaknya menjuluki Kartini dengan sebutan "Trinil" atau burung kecil yang lincah dan cerewet. Namun ibunya, Ngasirah, tidak suka dengan julukan "Trinil" atau "Nil". Ngasirah suka marah kepada adik-adik Kartini bila mereka ikut-ikutan memanggilnya "Nil" karena tidak sopan.

Raden Ajeng Kartini bersama dua saudarinya Kardinah dan Roekmini. Wikipedia/Tropenmuseum

Ketika ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat diangkat menjadi bupati Jepara, mereka pindah ke rumah dinas, yang sekarang disebut pendapa kabupaten. Mereka memiliki seorang pembantu bernama Ibu Sosro yang bertugas menjaga Kartini, Roekmini, dan Kardinah.

Pada satu saat, Ibu Sosro sangat marah karena keisengan Kartini dan dua saudarinya. Awalnya, karena sedang mengantuk, dia enggan menemani mereka bermain di luar rumah. Ketiganya dikunci di dalam kamar, dan Ibu Sosro memilih tidur.

Mengetahui Ibu Sosro tertidur pulas di depan pintu, Kartini memimpin adik-adiknya kabur dan bermain seharian di kebun luar pendapa. Ibu Sosro, yang mengetahui perbuatan mereka, langsung marah dan mengadu ke orang tua Kartini. "Anak-anak nakal. Berani ya keluar dari kamar. Ini pasti Trinil yang mengajak kamu," katanya.

Bukannya jera, ketiganya malah membalas dengan menaruh merica di dalam lumpang tempat Ibu Sosro biasa menumbuk kinang (sirih). Ketika Ibu Sosro menumbuk kinang di dalam lumpang dan memasukkannya ke dalam mulut, mulutnya langsung panas seperti terbakar.

Dilaporkannya kembali kejadian itu kepada Sosroningrat. "Romo benar-benar marah kepada anak-anaknya kali ini. Sejak saat itu anak-anak tidak lagi berani berbuat seperti itu," tulis Kardinah dalam buku The Three Sisters.

Karena sikapnya yang lincah, gesit, pandai, dan mudah bergaul, Kartini sangat menonjol di sekolahnya, Europeesche Lagere School atau ELS. Apalagi di sekolah Belanda itu kebanyakan muridnya adalah anak campuran Belanda -Indonesia dan Belanda totok. Hanya sedikit yang pribumi asli, apalagi perempuan.

Kartini menjadi sangat terkenal karena kefasihannya dan kemahirannya menulis dalam bahasa Belanda. Pernah Europeesche Lagere School kedatangan seorang inspektur Belanda yang menyuruh murid di sekolah itu membuat karangan dalam bahasa Belanda. Dari hasil penilaiannya, karangan Kartinilah yang paling bagus.

Siswi-siswi di Sekolah Kartini Bogor berfoto bersama pada 1920. Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Meski pintar dan suka membaca, Kartini bukanlah anak yang takluk pada perintah guru. Dia tetap anak kecil yang suka jahil terhadap gurunya. Salah satu guru yang paling sering diisengi Kartini adalah Pak Danu, guru bahasa Jawa yang sengaja didatangkan keluarga Sosroningrat untuk mengajari anak-anak mereka.

Kartini dan adiknya sering meminta Danu membelikan makanan kesukaan mereka, yaitu pecel daun semanggi. Cara ini digunakan tiga bersaudara itu untuk menghindari pelajaran. Lambat-laun perbuatan mereka diketahui Sosroningrat.

Mereka dimarahi dan Danu diganti dengan guru lain bernama Sumarisman, yang lebih berwibawa dan tegas. Di bawah bimbingan Sumarisman, ketiga bersaudara dapat menguasai bahasa Jawa dengan berbagai tingkatan.

Selain mendapat pendidikan formal dan pendidikan bahasa Jawa, Kartini kecil memperoleh pendidikan membaca Al-Quran. Namun Kartini kurang begitu menyukai pelajaran ini karena harus mengikuti panjang-pendek harakat dalam huruf Arab.

Kartini juga sering mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab gurunya. Meski begitu, ayahnya tidak marah. Hanya ibunya yang marah, karena Ngasirah sangat keras mendidik Kartini dalam hal ibadah.

Pada 1892, usia Kartini memasuki umur 12 tahun 6 bulan atau usia remaja putri. Meskipun Sosroningrat cukup progresif menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah Belanda, dia belum dapat melepaskan seluruh adat bangsawan yang kolot. Kartini tidak boleh melanjutkan pelajaran.

Sang ayah menganggap Kartini sudah cukup besar untuk dipingit. Raden Ajeng Kartini dikurung di dalam rumah tanpa hubungan dengan dunia luar sampai ada seorang pria yang melamarnya.

MAJALAH TEMPO

Baca juga:

Kisah Kartini Sakit Parah Saat Kecil, Lalu Sembuh oleh 'Bapak' Besar

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."