Demi Mental Sehat, Orang Tua dengan Anak Autisme Tetap Perlu Me Time

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi orang tua dan anak pelukan (Pixabay.com)

Ilustrasi orang tua dan anak pelukan (Pixabay.com)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Psikolog lulusan Magister Psikologi Terapan Universitas Indonesia Diah A. Witasari mengatakan bahwa orang tua yang merawat anak autisme juga perlu memperhatikan dan menyayangi dirinya sendiri, salah satu caranya adalah dengan me time atau meluangkan waktu beristirahat sejenak.

"Kalau bicara tips, carilah cara untuk tetap positif. Mungkin perlu cek apa yang bisa buat kita rileks. Kita perlu me time juga untuk diri kita sendiri," kata Diah melalui siaran Instagram Live bersama Tentang Anak dan Yayasan MPATI dikutip pada Jumat 9 April 2021.

Baca: Orang Tua Beda Agama, Jessica Mila: Aku Belajar Lebih Sabar dan Tenang dari Papa

Lebih lanjut, wanita yang juga merupakan seorang ibu dari putra berkebutuhan khusus itu mengatakan bahwa di era dengan teknologi canggih seperti saat ini juga semakin mempermudah akses bagi orang tua untuk berbagi dengan sesamanya. Jadi, ketika merasa lelah, bisa mencari dukungan dari orang lain melalui komunitas di media sosial, misalnya. "Ayah dan bunda tidak sendiri. Zaman sekarang sudah beda dengan zaman saya dulu, pun dengan peran komunitas. Kondisi orang tua akan mempengaruhi anak juga. Jadi, jangan lupa untuk peduli sama diri sendiri juga. Jangan lupa untuk sayangi diri kita sendiri," kata Diah.

Bicara soal hubungan anak dan orang tua, lanjut dia, tidak lepas dengan adanya ekspektasi tertentu terhadap anak. Pun orang tua dengan anak autisme. Namun, Diah mengingatkan orang tua agar mengetahui batas ekspektasi itu agar tidak menguras energi, salah satunya adalah dengan menjadi realistis.

Diah memaparkan, kebutuhan seorang anak -- terutama anak yang menyandang autisme, berbeda-beda. Begitu pula dengan bagaimana tumbuh kembang buah hati, yang dalam hal ini mungkin tidak bisa diukur dengan batasan umur. "Bicara soal ekspektasi, kita harus realistis. Kita realistis terhadap tumbuh kembang anak, kebersamaan, fokus, dan risikonya. Itu semua dilakukan sambil jalan. Anak itu unik, dia punya proses berkembang sendiri, dan punya keistimewaan sendiri. Ruang itu perlu diisi dengan ekspektasi yang realistis," kata dia.

"Itu semua berangkat dari diri kita sendiri, melihat bagaimana anak bertemu potensi, kelebihan dia apa. Yang menjadikan melelahkan adalah kita punya ekspektasi tinggi, dan itu boleh-boleh saja, tapi harusnya disesuaikan dengan keadaan. Wajar kalau orang tua punya rencana tertentu. Boleh sedih, tapi bangkit lagi," katanya.

Diah mengingatkan orang tua untuk terus berpikir positif. "Stay positive. Karena energi itu yang akan membantu kita mikir alternatif lain apa yang bisa kita lakukan selanjutnya," katanya.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."