Kekhawatiran Orang Tua Sambut Tahun Ajaran Baru Saat Pandemi

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Sejumlah orang tua calon peserta didik mencari informasi terkait penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SMKN 8, Bandung, Jawa Barat, Kamis 4 Juni 2020. Pada PPDB tahun ajaran 2020/2021, Kota Bandung memiliki kuota peserta didik baru sebanyak 9.211 untuk SMA Negeri dan 7.698 untuk SMK Negeri yang akan dimulai pada Senin 8 Juni 2020 mendatang secara daring. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Sejumlah orang tua calon peserta didik mencari informasi terkait penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SMKN 8, Bandung, Jawa Barat, Kamis 4 Juni 2020. Pada PPDB tahun ajaran 2020/2021, Kota Bandung memiliki kuota peserta didik baru sebanyak 9.211 untuk SMA Negeri dan 7.698 untuk SMK Negeri yang akan dimulai pada Senin 8 Juni 2020 mendatang secara daring. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Masa menjelang anak masuk sekolah seharusnya disambut bahagia oleh para orang tua. Namun pandemi Covid-19 membuat perasaan mereka bercampur aduk, antara senang dan khawatir.

Deti Hapsari, 29 tahun, misalnya. Dia terus memastikan lingkungan baru bagi anaknya di pendidikan anak usia dini (PAUD) benar-benar aman dari penularan virus corona. Ia melakukan penelusuran secara online hingga mengunjungi langsung calon sekolah pilihannya.

Deti ingin memastikan sekolah itu benar-benar aman dan membuatnya tenang. Ia memeriksa fasilitas kebersihan, jumlah murid dalam kelompok kecil, hingga jarak yang dekat dengan tempat tinggalnya.

Hingga kini, kata Deti, belum ada sekolah yang memenuhi syarat itu. "Meski hanya ke sekolah tiga kali seminggu dengan durasi kurang dari tiga jam per pertemuan, itu waktu yang cukup untuk penularan," ujar warga Surabaya, Jawa Timur, itu.

Kekhawatiran serupa dirasakan Sabrina, 32 tahun, yang ingin mendaftarkan anaknya ke taman kanak-kanak (TK). Interaksi di antara siswa, guru, orang tua siswa, sopir, dan pendamping anak dinilai berpotensi menjadi carrier. "Usia anak-anak yang masih aktif bermain dan berujung pada kelelahan juga dapat menurunkan imunitas tubuh. Sedikit saja interaksi dengan pihak carrier dapat membuat mereka mudah terinfeksi virus," tutur warga Bekasi, Jawa Barat, ini.

Sekolah memang belum menjalani belajar tatap muka dalam waktu dekat. Namun mereka khawatir, ketika nanti sekolah sudah kembali berjalan normal, pandemi belum berlalu. Itulah yang membuat mereka sangat berhati-hati dalam memilih sekolah bagi sang buah hati. Apalagi jika kesadaran anak-anak terhadap protokol kesehatan cenderung rendah.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N. Rosalin mengatakan ada lima strategi yang bisa dilakukan untuk menghadapi situasi tersebut. Pertama, anak harus siap ketika suatu hari mereka masuk sekolah. Mereka harus tahu bagaimana caranya menggunakan masker, mencuci tangan sendiri, menjaga jarak, dan lain-lain.

Kedua, keluarga harus mampu menyiapkan anak-anaknya agar mereka juga siap dalam menerapkan protokol kesehatan, termasuk menyediakan bekal ketika anak-anak kembali ke sekolah.

Ketiga, satuan pendidikan harus siap, misalnya dengan menyiapkan fasilitas seperti tempat mencuci tangan dan toilet, serta melaksanakan protokol pencegahan Covid-19.

Keempat, lingkungan harus siap agar anak terhindar dari penularan Covid-19. Dan kelima adalah wilayah. Pemimpin daerah memiliki peran untuk mewujudkan pemenuhan hak anak selama masa new normal.

Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, mengatakan hal senada. Ia mengatakan kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat yang sudah dilakukan di rumah perlu diterapkan apabila sekolah sudah kembali menerapkan belajar tatap muka.
Dalam situasi pandemi, orang tua juga perlu melatih anak menggunakan masker dalam jangka waktu lebih panjang dan rajin mencuci tangan. "Pada saat pulang sekolah, anak juga perlu diberi pengertian untuk segera membersihkan diri dan mengganti pakaian untuk mencegah penularan virus," tutur Nina.

Nina menambahkan, persiapan sekolah di rumah atau melalui jaringan Internet juga tidak kalah pentingnya. Dia menjelaskan, orang tua perlu berdiskusi lebih lanjut soal jadwal belajar yang sesuai bagi anak di rumah. Hal ini dilakukan agar anak bisa menyesuaikan waktu yang tepat untuk belajar mengingat hambatan belajar di rumah terbilang tak mudah.

Orang tua juga harus memastikan sistem pendukung (support system) tersedia dengan baik, terlebih jika orang tua harus kembali bekerja ke luar rumah. Adapun support system yang diperlukan adalah pendamping belajar atau pengajar hingga perlengkapan belajar anak. "Untuk menyiapkan mental, jangan lupa sampaikan perubahan yang akan terjadi sebelum hari (kembali ke sekolah) itu datang," ujar dia.

Psikolog klinis Reynitta Poerwito menambahkan, selama belajar di rumah, persiapan mental anak dibutuhkan agar suasana belajar bisa menjadi rileks. Dukungan orang tua sangat diperlukan untuk membangkitkan semangat anak dengan menanyakan hal yang bisa membangkitkan semangat belajar. "Selain itu, perlu menerapkan manajemen waktu karena di rumah bukan suasana belajar yang formal. Jadi, anak mungkin maunya main."

UTHEALTH.EDU | EKA WAHYU PRAMITA | LARISSA HUDA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."