Psikolog: 2 Masalah Keluarga Ini Boleh Dibahas dengan Pihak Luar

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi orang tua bertengkar di depan anak-anak. news.com.au

Ilustrasi orang tua bertengkar di depan anak-anak. news.com.au

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Masalah keluarga kerap dibahas ke ranah publik lewat media sosial. Seyogyanya, masalah keluarga hanya ada di lingkup internal, tapi kini kerap jadi bahan pembicaraan pengguna media sosial. Mengapa begitu?

Menurut psikolog klinis Mufliha Fahmiatau, zaman dulu ada nilai sosial bahwa aib keluarga tidak untuk dibuka. Namun seiring waktu, drama dalam keluarga jadi mudah disampaikan di ranah publik. 

Sebelum jauh melangkah, kita ketahui dulu yang dimaksud dengan drama keluarga karena pemahaman setiap orang berbeda.

"Ada yang menganggap apa pun perselisihan dan ketidaksepahaman dalam rumah tangga baik masalah kecil atau besar disebut drama. Ada pula yang menafsirka dengan masalah sedikit lantas dibesar-besarkan atau kerap disebut drama queen," kata Mufliha dalam Live Instagram "Drama Keluarga Sampai Mana Batasnya" pada Ahad, 14 Juni 2020.

Terjadi drama atau tidaknya tergantung bagaimana seseorang merespons pasangan atau keluarganya. "Pada prinsipnya ada stimulus yang merespons emosi," tuturnya.

Lalu, adakah batasan masalah keluarga yang boleh dibawa ke ranah publik? Mufliha mengatakan ada dua permasalahan yang tidak bisa ditoleransi dan artinya bisa menjadi batas. Pertama, penelantaran oleh suami yang pergi tanpa kabar dan mengabaikan keluarga, termasuk tidak diberikan nafkah.

Batas penelantaran dikembalikan ke individu masing-masing, ungkap Mufliha. "Misalnya tidak ada kabar sama sekali bisa dikatakan sebagai batas. Namun jika ada masalah nafkah karena suami tidak bekerja, tapi punya kontribusi di bidang lain berarti rumah tangga masih jalan," ujar ibu satu anak ini.

Batasan kedua ialah kekerasan dalam bentuk apa pun di rumah, termasuk kekerasan terpola. Kekerasan dalam rumah tangga tidak boleh diabaikan karena itu menjadi siklus yang terus berputar.

"Misalnya hari ini melakukan kekerasan, maka selanjutnya bisa mengulang lagi. Perlu dipahami bahwa kekerasan bukan aib. Salah satu cara buat melindungi diri dengan berani melapor dan bicara," paparnya.

Penyelesaian masalah tersebut tidak bisa hanya melibatkan keluarga dekat karena ada kecenderungan untuk melindungi atau membela. Ada baiknya mencari pihak yang tidak memiliki keterikatan emosi atau attachment khusus.

"Kalau butuh bantuan dalam dua masalah tersebut, maka dianjurkan meminta ke profesional agar mendapatkan jalan keluar yang sesuai dengan kondisi masing-masing," imbaunya.

EKA WAHYU PRAMITA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."