Asupan Bumil dan 1000 Hari Pertama Kunci Pencegahan Stunting

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi stunting atau gizi buruk. Shutterstock

Ilustrasi stunting atau gizi buruk. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA. COM, JAKARTA - Upaya pencegahan dan penurunan angka stunting di Indonesia bukan hanya menjadi urusan pemerintah. Seluruh elemen bangsa harus terlibat dan berperan aktif dalam memerangi stunting di Indonesia.

Stunting adalah masalah kurang gizi dan nutrisi kronis yang ditandai tinggi badan anak lebih pendek dari standar anak seusianya. Beberapa di antaranya juga mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal, contohnya lambat berbicara atau berjalan hingga rentan sakit.

Merujuk siaran pers yang diterima Tempo.co, Ahad, 8 Maret 2020 Ketua Umum Indonesia Healthcare Forum atau IndoHCF Dr. dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS kasus stunting akibat malnutrisi kronis di Indonesia menjadi pekerjaan besar pemerintah.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan, prevalensi balita stunting di tahun 2018 mencapai 30,8 persen di mana artinya satu dari tiga balita mengalami stunting. Indonesia, kata ia, merupakan negara dengan beban anak stunting tertinggi ke-2 di kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia.

Supriyantoro menerangkan stunting tidak hanya dialami keluarga miskin, namun juga mereka yang berstatus keluarga mampu atau berada. Stunting, lanjut ia, menganggu pertumbuhan fisik dan perkembangan otak.

Penyebab masih tingginya angka stunting di Indonesia sangat kompleks. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya informasi pada masyarakat tentang pentingnya memperhatikan asupan gizi dan kebersihan diri pada ibu hamil atau bumil dan anak di bawah usia dua tahun. Selain itu, ada pula faktor pengetahuan tentang kesehatan dan gizi seimbang serta pemberian ASI yang kurang tepat.

"Pencegahan stunting dilakukan dengan upaya mengawal 1000 hari pertama kehidupan (HPK) dengan program pemberian makan bayi dan anak (PMBA) termasuk ASI eksklusif, makanan pendamping ASI atau MPASI, dan menyusui sampai 2 tahun atau lebih. Pekerjaan rumah ini tidak bisa dikerjakan sendiri oleh pemerintah. Butuh kerjasama lintas sektor untuk mencapai target tersebut. Istilahnya konvergensi atau keroyokan," papar ia.

Supriyantoro mengatakan, diperlukan analisis dan pendekatan gizi kesehatan masyarakat secara komprehensif untuk dapat secara efektif merancang program yang berbasis bukti dan berfokus pada pencegahan. Program tersebut, kata ia, perlu keterlibatan seluruh stakeholders dan sifatnya harus memberdayakan masyarakat.

Menurut Supriyantoro, persoalan stunting tidak bisa dipandang sepele. Anak dengan kondisi stunting cenderung memiliki tingkat kecerdasan yang rendah. Tidak hanya itu, pada usia produktif, individu yang pada balita dalam kondisi stunting berpenghasilan 20 persen lebih rendah. Kerugian negara akibat stunting diperkirakan mencapai sekitar Rp 300 triliun per tahun. Stunting pun dapat menurunkan produk domestik bruto negara sebesar tiga persen.

"Kami tidak ingin anak-anak Indonesia kalah bersaing dengan anak-anak negara lain. Kami ingin mereka menjadi manusia yang maju dan unggul. Indonesia sendiri telah memasuki Era Revolusi Industri 4.0. Jika tidak didukung sumber daya manusia yang sehat dan cerdas, maka sulit rasanya Indonesia mampu meningkatkan daya saing," tandas ia.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."