Mengapa Anak dari Ibu Korban KDRT Berisiko Punya IQ Lebih Rendah?

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi hubungan ibu dan anak. TEMPO/Nickmatulhuda

Ilustrasi hubungan ibu dan anak. TEMPO/Nickmatulhuda

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Anak yang dilahirkan dari ibu korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau di enam tahun pertama kehidupannya berisiko memiliki Intellgence Quotient (IQ) lebih rendah pada usia 8 tahun. 

Dalam studi oleh ahli epidemiologi Universitas Manchester, 13 persen anak-anak yang ibunya tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangga memiliki IQ atau kecerdasan intelektual di bawah 90 pada usia 8 tahun.

Jika ibu mereka mengalami kekerasan fisik dari pasangan mereka, baik selama kehamilan atau enam tahun pertama kehidupan anak, angkanya naik menjadi 22,8 persen.

Tim yang dipimpin oleh Kathryn Abel dari The University of Manchester menunjukkan kemungkinan bertambahnya IQ rendah menjadi 34,6 persen, jika sang ibu berulang kali terkena kekerasan dalam rumah tangga.

tu berarti anak-anak dengan ibu yang berulang kali mengalami kekerasan dalam rumah tangga selama kehamilan dan enam tahun pertama kehidupan anak mereka hampir tiga kali lebih mungkin memiliki IQ rendah pada usia 8 tahun, demikian temuan para peneliti.

IQ rendah didefinisikan sebagai skor IQ kurang dari 90, di mana IQ normal dianggap 100.

Studi ini meneliti hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga - juga disebut Intimate partner Violence (IPV) - dan kecerdasan anak pada usia 8 tahun, menggunakan 3.997 pasangan ibu anak dari University of Bristol, Avon Longitudinal Study of Parents and Parents and Children.

Studi ini, yang didanai oleh Wellcome Trust dan Medical Research Council, diterbitkan dalam Wellcome Open Research. ALSPAC mengikuti anak-anak sejak kehamilan, dan mengukur kekerasan rumah tangga emosional dan fisik - juga dikenal sebagai kekerasan pasangan intim - dari kehamilan hingga usia delapan tahun.

Kecerdasan anak-anak diukur pada delapan tahun menggunakan tes IQ standar Weschler.

Abel mengatakan, sudah merupakan fakta bahwa 1 dari 4 wanita berusia 16 tahun ke atas di Inggris dan Wales akan mengalami kekerasan dalam rumah tangga di masa hidup mereka dan bahwa anak-anak mereka berisiko lebih besar mengalami masalah fisik, sosial dan perilaku.

"Kami juga tahu bahwa kecerdasan di masa kanak-kanak sangat terkait dengan kinerja yang baik di masa dewasa, meskipun ada sedikit bukti tentang risiko IQ rendah untuk anak-anak ini," kata ia, dilansir dari laman Science Daily. 

Ilustrasi ayah, ibu, dan anak. shutterstock.com

"Meskipun kami tidak dapat menyimpulkan bahwa IPV menyebabkan IQ rendah, temuan ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga memiliki hubungan yang terukur, pada pertengahan masa kanak-kanak, terlepas dari faktor risiko lain untuk IQ rendah."

Sedangkan 17,6 persen ibu dalam penelitian ini melaporkan kekerasan emosional dan 6,8 persen melaporkan kekerasan fisik.

Temuan ini independen dari faktor-faktor risiko lain untuk IQ rendah seperti penggunaan alkohol dan tembakau pada kehamilan, depresi ibu, pendidikan ibu yang rendah dan kesulitan keuangan di sekitar kelahiran anak.

Ada beberapa ketidaksepakatan tentang apakah tes IQ adalah ukuran kecerdasan yang lengkap, karena tes ini hanya mempertimbangkan kecerdasan verbal dan non-verbal.

Namun, ini dianggap berguna oleh banyak ahli karena IQ tinggi telah ditunjukkan di banyak negara dan budaya untuk dikaitkan dengan berbagai hasil sosial dan kesehatan yang lebih baik.

Hein Heuvelman, dari The University of Bristol menambahkan paparan terhadap kekerasan dalam rumah tangga adalah umum untuk anak-anak di Inggris dan merupakan faktor risiko yang penting dan sering diabaikan dalam peluang hidup mereka.

"Jadi mengetahui sejauh mana anak-anak yang sudah rentan ini dipengaruhi lebih lanjut adalah argumen yang kuat untuk intervensi lebih banyak, lebih baik dan lebih awal.

"Dukungan saat ini untuk perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga tidak memadai di beberapa daerah dan tidak ada di tempat lain.

Selain itu, intervensi awal dengan keluarga-keluarga ini melindungi anak-anak dari bahaya, tetapi mungkin juga memprioritaskan perkembangan mereka di masa depan.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."