Kenali Bentuk dan Cara Atasi Kecemasan pada Anak Menurut Pakar

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Ilustrasi orang tua memarahi anak/anak menangis. Shutterstock.com

Ilustrasi orang tua memarahi anak/anak menangis. Shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Kecemasan tidak hanya milik orang dewasa, buah hati kita pun bisa mengalami kecemasan. Sebagai barikade pertama untuk anak-anak, kita harus memahami dan mengatasi kecemasan anak sesuai usianya. Menurut Dr. Sapna Bangar, psikiater anak dan remaja sekaligus Mpower di Mumbai, India, wajar anak-anak mengalami gangguan kecemasan sesuai pertambahan usia.

Melansir laman Times of India, rentang persentase kecemasan anak-anak dia antara 30-50 persen. “Saya sepenuhnya setuju ada peningkatan kecemasan pada anak. Itu umum dan sesuai perkembangan, namun orang tua cenderung mengabaikannya. Mereka merasa itu adalah bagian dari tumbuh dewasa dan tidak menanggapinya dengan serius,” kata Dr. Sapna Bangar.

Beberapa contoh kecemasan normal untuk anak-anak, misalnya untuk anak usia 6-8 bulan pasti mengalami kecemasan terhadap orang asing. “Mereka merasa cemas saat berada di dekat orang lain. Ketika mereka tumbuh dewasa, balita melewati fase merasa takut akan gelap atau merasa takut pada monster dan figur imajiner. Sangatlah wajar untuk memiliki semacam kecemasan pada tahap kehidupan tertentu,” Dr. Bangar melanjutkan.

Saat di rumah, orang tua bisa mengatasi kecemasan anak dengan pendekatan secara bertahap. “Sebagai contoh, jika seorang anak takut pada anjing, jangan langsung menetapkan aturan anak tidak boleh dekat anjing. Itu sama sekali tidak mengatasi kecemasannya. Sebaiknya orang tua berempati dengan kecemasan mereka dan membantu mereka secara bertahap. Telusuri sebab cemas dekat anjing dan berikan penjelasan diikuti pengenalan cara atasinya secara bertahap,” papar Dr. Bangar.

Lalu, kapan orang tua harus merasa khawatir dengan kecemasan anak? Menurut Dr. Bangar, orang tua boleh khawatir ketika anak-anak menolak untuk pergi ke sekolah dalam jangka waktu lama. “Selain tidak mau ke sekolah, perhatikan pula jika mereka tidak tidur nyenyak di malam hari, mulai terisolasi secara sosial hingga menolak untuk pergi keluar dan bertemu teman. Selain itu, bila mereka mulai kehilangan berat badan dan secara akademis nilainya menurun. Saatnya orang tua mencari bantuan para ahli jiwa khusus anak,” tandas Dr. Bangar.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."