Anak Belum Terbiasa Sarapan, Mulai Biasakan Selama 22 Hari

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Yunia Pratiwi

google-image
Ilustrasi sarapan. Pixabay.com

Ilustrasi sarapan. Pixabay.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sarapan sangat bermanfaat bagi tubuh anak-anak. Namun, tak bisa dipungkiri masih banyak orang tua yang belum rutin membiasakan anak sarapan sebelum beraktivitas. 

Baca juga: Suka Menggabungkan Sarapan dan Makan Siang, Ini Kata Pakar

Menurut Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia, Prof Dr Ir Hardinsyah, MS, 7 dari 10 anak Indonesia kekurangan gizi sarapan. Kebanyakan anak hanya memenuhi kebutuhan karbohidrat pada menu sarapannya, tapi minim atau tidak ada komponen lainnya di dalam makanan.

"Sementara salah satu kebutuhan perkembangan otak anak membutuhkan asam amino essensial. Itu bisa didapat dari protein, contohnya daging, telur atau ikan,” ucap Hardinsyah saat ditemui dalam acara Konsentrasi Ciptakan Mimpi Bersama Energen, Menutup Pekan Sarapan Nasional 2019 di fX Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis 21 Februari 2019.

Dalam kesempatan yang sama ahli neuroanatami dan neurosains Dr. dr. Taufiq Pasiak, M.Kes, M.Pd mengatakan sarapan memungkinkan anak-anak jauh lebih tenang secara emosional, gerakan menjadi lebih lincah, dan fungsi kognitif lebih baik. Termasuk kemampuan berpikir, menganalisa, hingga kemampuan konsentrasi. "Namun, semua manfaat positif tersebut baru bisa didapat, jika anak terbiasa sarapan. Kalau insidentil seperti sehari sarapan, besok tidak, tiga hari kemudian baru sarapan lagi. Itu tidak berefek apapun. Sarapan itu kuncinya kontinuitas gizi," jelas Taufiq.

Jika anak Anda belum terbiasa sarapan bisa mengubahnya dari sekarang.  Taufiq menjelaskan untuk mengubah kebiasaan sarapan, dapat dilakukan dengan menerapkan rutinitas sarapan pada anak selama 22 hari. Rata-rata para ahli memilih waktu minimal 22 hari untuk mengubah sesuatu menjadi kebiasaan.

"Begitu diulang-ulang kegiatan tersebut, maka sel-sel otak kita yang berada di bagian tengah akan berubah mengikuti kebiasaan itu. Laju asupan gizi yang teratur ikut mempengaruhi kerja sinapsis di otak. Tapi ingat, bukan berarti setelah 22 hari tidak lagi sarapan, itu hanya untuk memperbaiki pola kerja otak. Kebiasaan sarapan tiap hari, ya tetap dilanjutkan,” sambung Taufiq.

Dia pun menyebut sebuah teori Gut-Brain Connection (GBC) yang berkembang pada 10 tahun terakhir. Teori ini mengungkap bahwa usus juga bisa mempengaruhi kerja otak. Pengaruh tersebut datang melalui sejumlah saraf, imunologi, bahkan hormonal.

"Dulu kita meyakini otak mempengaruhi usus. Contohnya stres, asam lambung naik. Tapi ternyata usus juga bisa mempengaruhi otak. Sebab, tubuh yang kekurangan zat-zat tertentu, seperti gula bisa memicu sistem kerja otak tidak optimal. Dalam satu hari itu, otak butuh triple 20. Yaitu 20 persen oksigen, 20 persen darah, dan 20 persen gula. Di situlah pentingnya sarapan di pagi hari, karena tubuh kita sudah “berpuasa” saat tidur selama 6-8 jam. Jadi, harus diisi kembali dengan kandungan gizi terbaik sebelum beraktivitas,” tandas Taufiq.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."