Awas, Kesepian Juga Sebabkan Demensia

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Yayuk Widiyarti

google-image
Ilustrasi wanita kesepian. shutterstock.com

Ilustrasi wanita kesepian. shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Ada banyak faktor risiko munculnya demensia atau kepikunan. Merasa kesepian adalah salah satunya. Menurut spesialis saraf dari FK Unika Atma Jaya Jakarta, Dr. Yuda Turana, kesepian yang dimaksud bukan sekadar ditinggal sendiri, tetapi merasa tak diperhatikan.

“Bisa saja seseorang, di tengah-tengah keluarganya, tetapi merasa kesepian. Kesepian jangka panjang itu juga faktor risiko demensia," ujar Yuda.

Kondisi ini dialami seorang dengan demensia bernama Suwarti, 79 tahun. Putra Suwarti, Gerry Saleh, berkisah kalau ibundanya terdiagnosis menderita penyakit Alzheimer pada usia 72 tahun, tak lama sejak ditinggal wafat sang suami.

Artikel lain:
Semakin Tua, Kesehatan Turun Pikun Mendekat
Kesepian Sama Mematikan seperti Merokok dan Obesitas
Dampak Patah Hati pada Otak dan Jantung, Ayo Segera Move On
Meningioma Bukan Tumor Otak, Lalu Apa Itu?

 "Makin lama, Alzheimernya makin jelas. Mulai kelihatan tahun 2011. Pemicunya psikologis, saat ayah saya meninggal. Jadi ada seperti sisi traumatis kehilangan, kesepian yang membuat dia merasa ada di dunia berbeda," tutur Gerry.

Demensia, mengutip dari laman Alzheimer Indonesia, menggambarkan serangkaian gejala seperti kehilangan memori, perubahan suasana hati, kesulitan berpikir, dan pemecahan masalah hingga bahasa. Kondisi ini terjadi ketika otak mengalami kerusakan karena penyakit seperti Alzheimer dan serangkaian stroke.

Yuda mengatakan khusus untuk penyakit Alzheimer, penderita biasanya terlebih dulu mengalami gangguan kognitif, seperti lupa menyimpan barang. Perlahan, penderita juga mengalami gangguan perilaku, misalnya mudah marah.

 "Penyakit Alzheimer sebetulnya gangguan kognitif dan juga perilaku. Awalnya gangguan kognitif dulu, lupa-lupa, nyimpan barang lupa. Tetapi, lambat laun atau 3-4 tahun kemudian, itu bisa jadi gangguan perilaku. Ngamuk enggak pada tempatnya, emosi, halusinasi," katanya.

"Pada masa tahap awal gangguan kognitif, apalagi pada orang tua, dianggap biasa sehingga datangnya (periksa) saat pasien sudah mengalami gangguan perilaku. Padahal, kalau sudah gangguan perilaku, itu terlambat sekali," tambah Yuda.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."