Musim Hujan, Saat yang Tepat Makan Mi Korea Penghangat Tubuh

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Restoran Jjang Korean Noodle and Grill di Jalan Wolter Monginsidi, Senopati, Jakarta Selatan, 7 Februari 2018. TEMPO/Nita Dian

Restoran Jjang Korean Noodle and Grill di Jalan Wolter Monginsidi, Senopati, Jakarta Selatan, 7 Februari 2018. TEMPO/Nita Dian

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Musim hujan diidentikkan dengan dua hal : banjir dan makanan berkuah. Ketika melihat orang lain menyantap makanan berkuah yang hangat saat hujan turun, ada rasa ingin juga menikmatinya untuk menghangatkan tubuh. Makanan berkuah yang kerap dicari masyarakat biasanya bakso, mi ayam, dan mi instan.

Baca juga:
Cara Benar Makan Ramen Pakai Teknik Zuzutto
Viral Kue Momoiro, Seperti Apa Bentuk dan Rasanya

Salah satu alternatif yang bisa dicoba selain menu di atas adalah Jjang Korean Noodle and Grill, yang terletak di Jalan Wolter Monginsidi Nomor 39, Jakarta Selatan. Jalan Wolter Monginsidi sampai ke Jalan Senopati selama ini dikenal sebagai surga kuliner di Jakarta Selatan karena berdiri berbagai restoran yang menyediakan berbagai macam makanan di sana.

Selain Jjang Korean Noodle and Grill, setidaknya ada dua restoran Korea Selatan lain yang berada di kawasan Wolter Monginsidi. Suasana di restoran Jjang Korean Noodle and Grill mewakili negara asalnya. Sayup-sayup terdengar musik-musik ala boyband dan girlband asal Negeri Ginseng.

Beberapa menu khas dari Korea yang direkomendasikan adalah Budae Jigae, Dak Gal Bi. “Budae Jigae dan Dak Gal Bi memang andalan kami. Orang ke sini pasti makan itu,” kata pemilik Jjang Korean Noodle and Grill, Christopher Adibrata kepada Tempo. Ketika menyuguhkan Budae Jigae, pelayan lebih dulu menempatkan kompor gas di tengah meja bersama satu wajan kecil yang di dalamnya terdapat mi dengan telur di atasnya.

Menu Budae Jjigae di Restoran Jjang Korean Noodle and Grill, Jalan Wolter Monginsidi, Senopati, Jakarta Selatan, 7 Februari 2018. TEMPO/Nita Dian

Mi tersebut direbus bersama-sama dengan berbagai aneka makanan pendamping, seperti daging asap, topoki, keju, sosis, dan sayuran. Setelah mi mulai matang, pelayan memotong mi itu menggunakan gunting. Setelah itu, barulah tamu dipersilakan menyantapnya.

Kuah yang panas dan kental serta mi yang lembut membuat Budae Jigae menjadi menu yang pas disantap pada musim hujan. Terlebih menu ini memang dikhususkan untuk disantap oleh 2-3 orang, sehingga Anda bisa merasakan kehangatan dari makanan sekaligus hangatnya berkumpul bersama keluarga, kawan, atau kekasih.

Sementara Dak Gal Bi adalah mi yang dimasak kering dengan wajan kecil dan diberi pendamping seperti daging ayam, keju, dan aneka sayuran di dalamnya. Tampilan Dak Gal Bi dengan warna kemerahan dan lelehan keju di atasnya cukup menggugah selera makan.

Menu Dak Gal Bi di Restoran Jjang Korean Noodle and Grill, Jalan Wolter Monginsidi, Senopati, Jakarta Selatan, 7 Februari 2018. TEMPO/Nita Dian

Jika hendak disantap bersama-sama, pelayan akan menggunting Dak Gal Bi menjadi beberapa bagian yang sama rata. Bumbu Dak Gal Bi lebih kuat dibanding Budae Jigae. Bumbunya yang pedas-manis itu terasa lebih meresap di dalam mi dan makanan-makanan pendampingnya.

Christopher mengatakan restoran Jjang Korean Noodle and Grill dibuka sejak 2014 dengan niat awal membuat restoran Korea yang halal dan berbeda dibanding yang lainnya. Ia ingin membuat restoran Korea yang berfokus pada menu Korean noodle and grill dengan harga yang murah tapi dengan kualitas yang baik.

Christopher melihat selama ini restoran Korea terasa membosankan dengan memasak barbeque di tengah meja, menyediakan menu babi, dan harganya yang mahal, sehingga sulit dinikmati orang kebanyakan. Ia juga mengungkapkan bahwa bisnis restoran Korea merupakan bisnis dari keluarganya karena orang tuanya sudah 30 tahun membuka restoran Korea di Semarang. “Saya ambil beberapa menu yang mudah dan orang Jakarta serta anak muda bakal suka.”

Sampai saat ini, Christopher mengaku tidak membuat cabang restoran ini karena ingin kualitas rasa dari makanan di sana terjaga. Ia juga mengaku berusaha seautentik mungkin dengan menu asli di Korea sana. Komitmennya menjaga keaslian, diperkuat dengan hadirnya seorang chef asal Korea yang datang setiap enam bulan untuk mengecek kualitas makanan. “Sebenarnya dengan tidak memakai daging babi saja sudah tidak autentik,” tuturnya.

Respons masyarakat, Christopher mengimbuhkan, beragam. Ia mengaku pernah mendapatkan keluhan dari pelanggan yang mengincar keautentikan masakan Korea di restorannya. “Tapi buat yang belum pernah makan masakan Korea merasa senang, karena tak mengandung babi,” ucapnya.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."