Tertinggi di Asia, Ibu Melahirkan Indonesia Alami Baby Blues

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi ibu hamil merias wajah sebelum melahirkan. Foto: Freepik.com/bristekjegor

Ilustrasi ibu hamil merias wajah sebelum melahirkan. Foto: Freepik.com/bristekjegor

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melaporkan ada 57 persen ibu di Indonesia yang mengalami gejala baby blues atau depresi pasca-melahirkan, sehingga perlu upaya memberdayakan para kader Bina Keluarga Balita (BKB) untuk mengatasinya.

"57 persen ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues, angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara peringkat tertinggi di Asia dengan risiko baby blues, untuk itu, kita perlu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kader BKB mengenai keadaan baby blues," kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Nopian Andusti dalam diskusi yang diikuti dalam kegiatan online di Jakarta, Senin 29 Januari 2024.

Hal tersebut disampaikan Nopian saat membuka Kelas Orang Tua Hebat (Kerabat) seri pertama pada tahun 2024 dengan tema "Yuk, kenali dan cegah baby blues". "Baby blues syndrome merupakan keadaan depresi yang bersifat sementara dan biasa dialami oleh kebanyakan ibu yang baru melahirkan karena adanya perubahan hormon," ujarnya. 

Ia menjelaskan penurunan hormon tertentu dalam jumlah yang banyak dan secara tiba-tiba akan menurunkan stamina ibu pasca-melahirkan.

Selain itu, lanjutnya, konflik batin atas kemampuan seseorang yang baru menjadi ibu mengakibatkan rasa cemas berlebih atas penerimaan serta penolakan terhadap peran baru, yang mengakibatkan seorang ibu mengalami baby blues syndrome.

"Melalui Kerabat seri satu di tahun 2024 ini, kami berharap dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kader BKB dan peserta mengenai keadaan baby blues, sehingga peserta maupun kader BKB dapat mengetahui dan menindaklanjuti saat diri sendiri maupun orang sekitar mengalami baby blues," ucapnya.

Sementara itu Psikolog dari Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Naftalia Kusumawardhani menyampaikan proses hamil merupakan proses berat yang dialami seorang, sehingga mempengaruhi keadaan baby blues.

"Proses hamil itu berat bagi seorang ibu, ke mana-mana selama sembilan bulan membawa bayi bukanlah hal yang mudah. Bagi ibu yang kehamilannya diharapkan, tentunya masa itu menyenangkan. Tetapi bagi mereka yang tidak berharap hamil, pernah mengalami kesulitan sebelumnya, sedang konflik dengan keluarga, dan sebagainya, maka masa kehamilan ini bisa jadi tidak menyenangkan," katanya. 

Naftalia mengutarakan ada seorang klien yang bercerita kepadanya setelah mengalami kondisi yang tidak menyenangkan pada kehamilan pertama sehingga memicu kondisi baby blues. "Ada salah satu klien yang mengaku saat kehamilan pertamanya, dia mengalami stres yang berat karena suaminya selingkuh. Ibu itu bercerita, 'seandainya aku enggak hamil, aku bisa meninggalkan suamiku dengan gampang'," katanya

Ilustrasi baby blues. shutterstock.com.

Psikolog yang praktik di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Waru, Jawa Timur, itu menjelaskan pengalaman-pengalaman ketika hamil akan mempengaruhi bagaimana sikap ibu terhadap bayi ketika melahirkan. "Jadi pengalaman-pengalaman ketika hamil akan mempengaruhi proses hamil dan sikap ibu, juga mempengaruhi sikap anak terhadap kehidupan dan keluarganya, jadi saling berkait," paparnya.

Untuk itu ia menekankan pentingnya dukungan keluarga terdekat kepada sang ibu untuk mencegah kondisi baby blues, sehingga baik ibu maupun anak dapat memiliki hubungan emosional yang terjalin dengan baik.

Selain itu, menurutnya, dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk para kader BKB juga penting untuk menjaga kesehatan mental ibu.

Pilihan EditorMengenal Apa Itu Baby Blues, Gejala, dan Cara Mengatasinya

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."